Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerja Sama Lintas Batas ASEAN:

Kerja Sama Lintas Batas ASEAN

Laut Cina Selatan, Delta Sungai Tumen, dan Kawasan Lancang-Mekong.

Map ASEAN.


1. Fitur kerja sama lintas batas di timur dan selatan Cina. Wilayah lintas batas yang muncul.

2. Kerja Sama di Delta Sungai Tumen: Sejarah, Keadaan Saat Ini dan Prospek. Kepentingan negara-negara yang berpartisipasi.

3. Bidang kerja sama utama di wilayah Lancang-Mekong: sejarah, keadaan saat ini dan prospek.


Pendahuluan.

 

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) didirikan atas prinsip mendorong stabilitas regional, pertumbuhan ekonomi, dan kolaborasi sosial-budaya. Meskipun integrasi internal ASEAN tetap menjadi tujuan utama, dinamika di kawasan pinggirannya, khususnya dengan Tiongkok, menghadirkan arena yang kompleks dan krusial bagi kerja sama lintas batas. Kerja sama ini tidak monolitik; melainkan terwujud dalam berbagai bentuk yang sangat beragam, mulai dari kebuntuan geopolitik yang menegangkan hingga kemitraan ekonomi yang terintegrasi secara mendalam. Analisis ini mengkaji tiga model keterlibatan lintas batas yang berbeda: sengketa yang kontroversial dan didorong oleh fitur di Laut Cina Selatan, inisiatif Delta Sungai yang telah lama terhenti namun berpotensi transformatif, dan kerja sama yang aktif dan multifaset dalam kerangka Mekong. Dengan menelusuri sejarah, kondisi terkini, dan prospek kawasan-kawasan ini, kita dapat memahami interaksi yang rumit antara kepentingan nasional, imperatif ekonomi, dan kekuatan geopolitik yang mendefinisikan hubungan lintas batas di Asia kontemporer.

 

1. Ciri-ciri Kerja Sama Lintas Batas di Laut Cina Selatan dan Timur: Munculnya Wilayah Lintas Batas.

 

Laut Cina Selatan (LCS) merupakan kasus paradoks "kerja sama" lintas batas. Kerja sama ini bukan tentang pengembangan kolaboratif, melainkan lebih tentang pengelolaan konflik dan negosiasi persyaratan keterlibatan atas fitur dan sumber daya yang disengketakan. Laut ini merupakan koridor maritim global yang krusial, yang dilalui oleh sekitar sepertiga pelayaran global, dan diyakini menyimpan cadangan minyak dan gas alam yang signifikan.

 

Ciri-ciri Utama dan Wilayah yang Disengketakan.

 

Sengketa ini berkisar pada kedaulatan atas dua jenis utama fitur maritim: pulau dan batu karang. Kepulauan utama yang disengketakan adalah:

Kepulauan Paracel: Dikendalikan sepenuhnya oleh Tiongkok sejak 1974 tetapi diklaim oleh Vietnam dan Taiwan.

Kepulauan Spratly: Wilayah yang paling diperebutkan, dengan banyak negara pengklaim. Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam menegaskan kedaulatan atas hampir seluruh kepulauan, sementara Filipina, Malaysia, dan Brunei mengklaim sebagian wilayahnya. Ciri-ciri di sini meliputi pulau, batu karang, dan elevasi air surut.

Beting Scarborough: Terumbu karang strategis yang direbut Tiongkok dari Filipina pada tahun 2012, memberikan Beijing posisi krusial di sebelah timur daratan Filipina.

Kepulauan Pratas: Dikendalikan oleh Taiwan tetapi diklaim oleh Tiongkok dan Vietnam.

 

"Kerja Sama" dan Realitas Lintas Batas yang Muncul.

 

Istilah "kerja sama" di sini seringkali dipaksakan dan asimetris, ditentukan oleh strategi Tiongkok untuk menciptakan fait accompli.

Pembangunan Pulau Buatan: Sejak sekitar tahun 2013, Tiongkok telah memulai kampanye reklamasi lahan dan militerisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di tujuh fitur di Kepulauan Spratly. Ini bukan sekadar gundukan pasir; melainkan pulau-pulau buatan yang telah dikembangkan sepenuhnya yang menampung pelabuhan laut dalam, landasan udara yang panjang (misalnya, di Terumbu Karang Subi, Mischief, dan Fiery Cross), instalasi radar, dan tempat perlindungan rudal potensial. Aktivitas ini telah mengubah geografi kawasan secara fisik, menciptakan realitas "lintas batas" baru yang harus dihadapi oleh negara-negara lain. Kerangka Hukum dan Normatif: Forum utama kerja sama adalah manajemen konflik. ASEAN dan Tiongkok telah merundingkan Kode Etik (COC) untuk LCS selama lebih dari dua dekade. Kemajuannya lambat dan penuh tantangan, karena Tiongkok lebih menyukai negosiasi bilateral di mana keunggulan kekuatannya paling besar, sementara negara-negara pengklaim ASEAN yang lebih kecil menginginkan perjanjian multilateral yang terpadu untuk mengikat perilaku Tiongkok.

 

Eksplorasi Sumber Daya: Kerja sama terkadang muncul dalam ekstraksi sumber daya, tetapi sifatnya rapuh. Perjanjian pembangunan bersama sering dibahas sebagai cara untuk menghindari sengketa kedaulatan, tetapi implementasinya jarang. Misalnya, kesepakatan eksplorasi minyak dan gas bersama tahun 2018 antara Tiongkok dan Filipina kemudian dihentikan oleh Manila karena kekhawatiran kedaulatan dan tekanan politik.

 

Kerja sama lintas batas di LCS dengan demikian dicirikan oleh dualitas yang tegang: keterlibatan diplomatik tingkat permukaan yang bertujuan untuk stabilitas, yang didukung oleh kampanye Tiongkok yang gigih untuk memperkuat kendalinya dan mendefinisikan ulang status quo teritorial melalui kekuatan politik, ekonomi, dan militer semata.

 

2. Kerja Sama di Delta Sungai Tumen: Sejarah, Kondisi Saat Ini, dan Prospek.


Berbeda tajam dengan ketegangan maritim di Laut Cina Selatan, Delta Sungai Tumen menawarkan visi kerja sama lintas batas benua yang sejauh ini belum mencapai potensinya yang luar biasa. Terletak di pertemuan Tiongkok, Korea Utara, dan Rusia, delta ini menyediakan satu-satunya jalur darat antara Tiongkok dan Semenanjung Korea yang tidak berada di perbatasan Tiongkok-Rusia, dan menawarkan akses ke Laut Jepang bagi wilayah tersebut.

 

Konteks Sejarah.

 

Sejarah modern Delta Sungai Tumen berakar pada era pasca-Perang Dingin. Konsep ini mendapatkan momentum dengan pembubaran Uni Soviet dan normalisasi hubungan antara Tiongkok dan Korea Selatan.

Inisiatif UNDP (1991): Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Program Pembangunan Wilayah Sungai Tumen (TRADP), yang membayangkan "Hong Kong Abad ke-21" di Asia Timur Laut. Anggota awalnya adalah Tiongkok, Korea Utara, Rusia, Korea Selatan, dan Mongolia. Tujuannya adalah memanfaatkan lokasi strategis kawasan ini untuk menciptakan pusat transportasi dan logistik, menarik investasi asing, dan memacu pembangunan di wilayah yang secara historis terisolasi.

 

Tantangan Awal: Inisiatif ini langsung terhambat oleh realitas geopolitik: isolasi Korea Utara dan ambisi nuklirnya, ketegangan yang berkepanjangan antara kedua negara Korea, inersia birokrasi, dan kurangnya investasi infrastruktur yang signifikan. Visi besar tersebut tidak pernah terwujud.

 

Kondisi Saat Ini dan Kepentingan Negara-Negara Peserta Inisiatif ini, yang kini berganti nama menjadi Inisiatif Tumen Raya (GTI), tetap berlanjut tetapi dengan pencapaian yang terbatas. Kepentingan negara-negara peserta saling melengkapi sekaligus bertentangan:

 

Tiongkok: Bagi Tiongkok, Delta Tumen merupakan komponen kunci dari strategi yang lebih luas untuk mengembangkan provinsi-provinsi di timur lautnya (Jilin dan Heilongjiang), yang tertinggal dari ledakan ekonomi pesisir. Akses ke Laut Jepang melalui Sungai Tumen akan menyediakan rute pelayaran alternatif yang krusial, mengurangi ketergantungan pada Laut Cina Selatan dan Selat Malaka yang padat dan sensitif secara politik. Kota Hunchun adalah titik fokus upaya Tiongkok.

 

Rusia: Moskow berkepentingan untuk mengembangkan Timur Jauhnya yang terpencil dan jarang penduduk. Rusia mengincar investasi dan perdagangan transit Tiongkok untuk mendorong perekonomian wilayah Primorsky Krai, dengan pelabuhan Vladivostok dan pelabuhan Zarubino yang lebih kecil sebagai aset utamanya. Namun, Rusia juga khawatir akan terbebani oleh pengaruh demografis dan ekonomi Tiongkok.

 

Korea Utara: Rezim di Pyongyang memiliki aset paling berharga secara strategis: Kawasan Ekonomi Khusus Rajin-Sonbong dan pelabuhan Rason. Rusia mengincar mata uang asing melalui biaya pelabuhan dan sewa, tetapi sangat enggan untuk mengizinkan akses dan transparansi asing yang diperlukan untuk logistik internasional berskala besar. Program nuklir dan sanksi internasionalnya telah menjadi hambatan terbesar bagi kemajuan.

 

Korea Selatan dan Mongolia: Sebagai pengamat atau mitra sekunder, mereka tertarik pada rute perdagangan darat dan koridor energi yang akan menghubungkan mereka dengan pasar Eurasia, tanpa harus melewati jalur laut.

 

Prospek

 

Prospek Delta Sungai Tumen masih belum pasti. Hambatan geopolitiknya sangat besar. Sanksi internasional yang ketat terhadap Korea Utara secara efektif telah membekukan sebagian besar proyek ekonomi lintas batas yang signifikan. Setiap kemajuan signifikan terkait erat dengan nasib perundingan denuklirisasi di Semenanjung Korea, yang saat ini sedang macet total. Lebih lanjut, invasi Rusia ke Ukraina dan aliansinya dengan Tiongkok telah menambah lapisan kompleksitas baru, yang berpotensi membuat kawasan tersebut lebih rentan terhadap model pembangunan Tiongkok-sentris yang secara historis ditentang Moskow. Meskipun logika ekonomi untuk kerja sama sangat kuat, logika tersebut tetap terbelenggu oleh politik tingkat tinggi dan dilema keamanan.

 

3. Bidang-bidang Utama Kerja Sama di Kawasan Lancang-Mekong: Sejarah, Kondisi Saat Ini, dan Prospek

 

Komitmen Kerjasa sama ASEAN.


Kawasan Lancang-Mekong merupakan bentuk kerja sama lintas batas yang paling maju dan terlembaga di antara ketiga kasus yang diteliti. Kawasan ini berpusat di Sungai Mekong, yang berhulu di Tiongkok (di mana ia disebut Lancang) dan mengalir melalui Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam sebelum bermuara di Laut Cina Selatan. Sungai ini merupakan sumber vital air, pangan, transportasi, dan identitas budaya bagi lebih dari 60 juta orang di Cekungan Mekong.

 

Konteks Historis.

 

Kerja sama telah berevolusi dari pengaturan ad-hoc menjadi mekanisme terstruktur yang didominasi oleh Tiongkok.

-2015: Kerja sama terfragmentasi, melibatkan kerangka kerja lama seperti Kerja Sama Pembangunan Cekungan Mekong ASEAN (AMBDC) dan Komisi Sungai Mekong (MRC). MRC, yang didirikan pada tahun 1995 oleh Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam, merupakan badan antarpemerintah yang berfokus pada teknis. Khususnya, Tiongkok (dan Myanmar) hanyalah "Mitra Dialog", bukan anggota penuh, yang membatasi kewenangan MRC atas seluruh sistem sungai.

 

Pergeseran Proaktif Tiongkok: Menyadari pentingnya strategis sungai ini bagi pembangunan dan pengaruhnya sendiri, Tiongkok meluncurkan inisiatif andalannya sendiri: kerangka Kerja Sama Lancang-Mekong (LMC) pada tahun 2015. LMC dengan cepat menjadi platform utama untuk dialog regional, mengalahkan mekanisme-mekanisme lama lainnya.

 

Kondisi Terkini dan Bidang Kerja Sama Utama.

 

LMC bersifat komprehensif, berfokus pada tiga dari lima pilar kerja sama ASEAN-Tiongkok: isu politik dan keamanan, pembangunan ekonomi dan berkelanjutan, serta pertukaran sosial, budaya, dan antarmasyarakat. Bidang kerja sama utamanya meliputi:

Pengelolaan Sumber Daya Air: Ini adalah bidang yang paling kritis dan kontroversial. Pembangunan 11 bendungan besar di Hulu Sungai Mekong (Lancang) oleh Tiongkok telah memberinya kendali yang sangat besar atas aliran sungai. Bendungan-bendungan tersebut menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya selama musim kemarau untuk pembangkit listrik, yang dapat mengurangi kekeringan di hilir tetapi juga mengganggu siklus denyut banjir alami yang penting bagi pertanian dan perikanan di hilir. Pembagian data mengenai ketinggian air dan operasi bendungan merupakan tuntutan utama dari negara-negara hilir, yang telah ditangani Tiongkok sebagian tetapi belum sepenuhnya.

 

Konektivitas dan Infrastruktur: Ini adalah pilar inti, yang sangat selaras dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok. Proyek-proyek tersebut meliputi perkeretaapian (misalnya, perkeretaapian Tiongkok-Laos), jalan raya, pelabuhan, dan infrastruktur digital. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan kawasan ini secara fisik dan digital dengan provinsi Yunnan di selatan Tiongkok dan sekitarnya, memfasilitasi integrasi perdagangan dan rantai pasokan.

 

Perdagangan dan Investasi: Tiongkok adalah mitra dagang terbesar dan sumber investasi utama bagi semua negara LMC. LMC mempromosikan fasilitasi perdagangan, e-commerce lintas batas, dan pengembangan kapasitas. Kawasan ini merupakan sumber penting produk pertanian bagi Tiongkok.

 

Keamanan Non-Tradisional (NTS): Kerja sama dalam isu-isu seperti penanggulangan bencana (kekeringan dan banjir), penegakan hukum, kesehatan masyarakat (contohnya diplomasi vaksin COVID-19), dan pemberantasan kejahatan transnasional (misalnya, perdagangan manusia, perdagangan narkoba) merupakan fitur utama LMC, yang memberikan manfaat nyata dan membangun kepercayaan.

 

Prospek.

 

Prospek LMC kuat tetapi disertai dengan tantangan dan ketergantungan yang signifikan.

Pendorong Positif: LMC memiliki komitmen politik tingkat tinggi, didanai dengan baik oleh Tiongkok, dan memenuhi kebutuhan pembangunan mendesak negara-negara di hilir Sungai Mekong. Fokus pada isu-isu NTS yang "lunak" memberikan titik temu dan menghasilkan kemenangan cepat.

 

Tantangan Utama:


1. Asimetri Kekuasaan dan Hegemoni Hidro: Ketidakseimbangan kekuatan yang fundamental tidak dapat dihindari. Kendali Tiongkok atas daerah hulu memberinya pengaruh strategis atas negara-negara hilir, menciptakan ketergantungan yang dapat digunakan untuk pengaruh politik. Kekhawatiran lingkungan tentang kesehatan jangka panjang ekosistem Mekong seringkali dinomorduakan dibandingkan kepentingan ekonomi dan energi.

 

2. Tumpang Tindih Kelembagaan: Keberadaan LMC, MRC, dan kerangka kerja lain seperti Kemitraan Mekong-AS yang dipimpin AS menciptakan lanskap kelembagaan yang kompleks dan terkadang kompetitif. Negara-negara harus bernavigasi di antara berbagai platform ini, yang berpotensi menyebabkan forum-shopping dan efektivitas yang terdilusi.

3. Utang dan Keberlanjutan: Proyek infrastruktur yang terkait dengan BRI menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan utang bagi negara-negara miskin seperti Laos dan Kamboja, serta tentang dampak sosial dan lingkungannya.

 

LMC kemungkinan akan terus berkembang sebagai alat utama Tiongkok untuk melibatkan Asia Tenggara daratan. Keberhasilannya akan bergantung pada kemauan Tiongkok untuk menangani berbagai masalah lingkungan hilir secara transparan dan memastikan bahwa kerja sama tersebut dianggap benar-benar saling menguntungkan dan berkelanjutan, dan bukan sekadar perluasan kepentingan strategis dan ekonominya sendiri.


Kesimpulan.

 

Analisis kerja sama lintas batas di sekitar pinggiran ASEAN mengungkapkan spektrum model yang ditentukan oleh geografi, dinamika kekuatan, dan kemauan politik. Laut Cina Selatan adalah zona persaingan yang disekuritisasi di mana "kerja sama" utamanya merupakan mekanisme untuk manajemen konflik dan di mana fitur-fitur buatan yang muncul secara fisik membentuk kembali perselisihan. Delta Sungai Tumen merupakan kasus potensi yang frustrasi, di mana logika ekonomi yang kuat terus-menerus dikalahkan oleh kekhawatiran keamanan yang keras dan sifat masalah Korea Utara yang sulit diatasi. Sebaliknya, wilayah Lancang-Mekong menunjukkan bentuk keterlibatan multi-sektoral yang sangat terlembagakan, meskipun sangat diorkestrasi oleh dan untuk kepentingan strategis Tiongkok.

 

Bersama-sama, ketiga kasus ini menggambarkan kebenaran inti geopolitik Asia modern: kerja sama lintas batas terkait erat dengan kebangkitan Tiongkok. Baik melalui pembangunan pulau yang koersif, janji gerbang benua yang mandek, maupun dominasi hidro-politik dari sistem sungai utama, kepentingan dan tindakan Tiongkok merupakan penentu utama lanskap kerja sama. Bagi ASEAN dan negara-negara anggotanya, tantangan yang terus berlanjut adalah menavigasi realitas ini dengan memanfaatkan manfaat ekonomi dari keterlibatan dengan Tiongkok, sekaligus menjaga kedaulatan, keamanan lingkungan, dan otonomi mereka sendiri dalam tatanan regional. Masa depan kerja sama lintas batas akan bergantung pada kemampuan kolektif mereka untuk mengelola keseimbangan yang rumit ini.

 

Posting Komentar untuk "Kerja Sama Lintas Batas ASEAN: "