Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Pasifik untuk Dunia: Refleksi 30 Tahun Perjalanan Kesetaraan Gender Pasca-Konferensi Beijing.


Dari Pasifik untuk Dunia: Refleksi 30 Tahun Perjalanan Kesetaraan Gender Pasca-Konferensi Beijing. 

 

Save Gender.

Dari Pasifik untuk Dunia: Refleksi 30 Tahun Perjalanan Kesetaraan Gender Pasca-Konferensi Beijing. 


Pendahuluan: Sebuah Paradigma yang Terbalik.

 

Dalam narasi global yang seringkali linear, kemajuan dianggap mengalir dari pusat-pusat kekuatan tradisional menuju pinggiran. Agenda-agenda besar dirumuskan di markas-markas internasional, untuk kemudian diadopsi dan diadaptasi oleh negara-negara berkembang. Namun, peringatan 30 tahun Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan dan Platform Aksi Beijing memberikan sebuah koreksi yang powerful terhadap narasi ini. Dari tengah lautan Teduh, suara kolektif para pemimpin Forum Kepulauan Pasifik (PIF), yang disampaikan dalam Sidang Umum PBB ke-80 (UNGA80) oleh Perdana Menteri Kepulauan Solomon Jeremiah Manele, menawarkan sebuah perspektif yang berbeda, sebuah paradigma yang terbalik.

 

Frasa “Dari Pasifik untuk Dunia” bukanlah slogan kosong. Ia merangkum sebuah klaim epistemologis dan politik yang mendalam: bahwa kawasan Pasifik bukanlah sekadar peserta pasif dalam perjalanan kesetaraan gender global, melainkan seorang pelaku aktif yang telah berkontribusi pada arus pemikiran dan aksi yang lebih luas. Ketika PM Manele dengan bangga menyatakan, “Setahun sebelum Beijing, kawasan ini meluncurkan Platform Aksi Pasifik yang dengan berani menempatkan kesetaraan gender sebagai inti agenda regional kita,” ia tidak hanya membagikan sebuah fakta sejarah. Ia sedang menawarkan sebuah pelajaran tentang kepemimpinan yang kontekstual, tentang visi yang berani, dan tentang bagaimana masyarakat kepulauan kecil dapat merancang jalan mereka sendiri menuju keadilan.

 

Artikel filosofis ini akan melakukan lebih dari sekadar mendokumentasikan pernyataan PIF. Kami akan merefleksikan perjalanan 30 tahun pasca-Beijing sebagai sebuah lensa untuk memahami kontribusi unik Pasifik pada wacana dan praktik kesetaraan gender global. Kita akan mengeksplorasi bagaimana “Cara Pasifik” yang berakar pada komunitas, interdependensi ekologis, dan resiliensi  menawarkan wawasan yang berharga bagi dunia yang tengah bergumul dengan krisis keberlanjutan dan kohesi sosial. Perjalanan ini adalah sebuah undangan untuk melihat Pasifik bukan sebagai penerima manfaat, tetapi sebagai guru.

 

1: Sebuah Prelude yang Visioner: Platform Aksi Pasifik 1994 sebagai Teks Kontra-Naratif.

 

Sebelum delegasi dari seluruh dunia berkumpul di Beijing pada tahun 1995, para pemimpin perempuan, aktivis, dan pemerintah Pasifik telah berkumpul untuk merumuskan respon mereka sendiri terhadap tantangan zaman. Platform Aksi Pasifik untuk Perempuan tahun 1994 lahir dari sebuah kesadaran yang jelas: bahwa kerangka global, meskipun well-intentioned, mungkin gagal menangkap kompleksitas realitas kehidupan di kepulauan kecil yang tersebar di lautan terbesar di dunia.

 

Dokumen ini dapat dibaca sebagai sebuah teks kontra-naratif yang canggih. Alih-alih menolak prinsip-prinsip universal kesetaraan, dokumen ini mengklaimnya dengan cara yang sangat Pasifik, sehingga memperkaya dan memperluas pemahaman kita tentang apa itu kesetaraan gender.

 

Ekologi sebagai Dasar: Sementara dokumen-dokumen global sering menempatkan kesetaraan gender dalam kerangka hak asasi manusia dan pembangunan ekonomi yang abstrak, Platform Pasifik dengan tegas membangunnya di atas fondasi ekologis. Ia berbicara tentang keterkaitan perempuan dengan lautan, tanah, dan sumber daya alam. Ia mengakui bahwa setiap diskusi tentang pemberdayaan ekonomi perempuan di Pasifik harus mencakup akses mereka terhadap sumber daya kelautan, pengetahuan tradisional tentang konservasi, dan peran mereka dalam ketahanan pangan. Dengan melakukan hal ini, Pasifik secara visioner menghubungkan kesetaraan gender dengan keberlanjutan lingkungan sebuah koneksi yang kini menjadi pusat dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Keamanan yang Didefinisikan Ulang: Jauh sebelum agenda "Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan" PBB mendapatkan daya ungkit yang signifikan, Platform Pasifik sudah membahas keamanan dalam istilah yang komprehensif. Bagi Pasifik, keamanan bukan hanya tentang konflik bersenjata; ini tentang keamanan lingkungan dari uji coba nuklir (sebuah isu yang sangat personal bagi Marshall Islands), keamanan dari bencana alam, dan keamanan ekonomi. Dengan mendefinisikan ulang keamanan melalui lensa pengalaman perempuan Pasifik, kawasan ini memberikan kontribusi yang vital pada pemikiran global tentang apa yang sebenarnya membentuk masyarakat yang damai dan aman.

Komunitas di atas Individualisme: Platform tersebut mencerminkan ethos kolektivitas yang khas dari banyak masyarakat Pasifik. Tujuannya tidak hanya memberdayakan perempuan sebagai individu, tetapi memperkuat posisi dan suara mereka dalam komunitas. Pendekatan ini menawarkan koreksi yang halus terhadap beberapa aspek feminisme Barat yang lebih individualistik, mengingatkan kita bahwa pembebasan dapat dicari melalui dan untuk komunitas, bukan melawannya.

 

Dengan demikian, prelude Pasifik terhadap Beijing bukanlah sebuah kaki sejarah. Ini adalah sebuah pernyataan filosofis: kesetaraan gender harus ditanamkan dalam konteks spesifik kehidupan masyarakat, dan bagi Pasifik, konteks itu pada dasarnya adalah ekologis dan komunitarian.

 

2: Tiga Puluh Tahun Berjalan: Pasifik sebagai Cermin bagi Kemajuan dan Kontradiksi Global.

 

Perjalanan tiga dekade sejak Beijing telah menjadi periode di mana kontribusi visioner Pasifik menjadi semakin relevan. Saat dunia menghadapi dampak nyata dari perubahan iklim, ketidaksetaraan yang dalam, dan krisis multilateralisme, pengalaman Pasifik berfungsi sebagai cermin yang memantulkan baik kemajuan kita yang kolektif maupun kegagalan kita yang kolektif.

 

Pasifik sebagai Barometer Keberlanjutan: Krisis iklim tidak lagi menjadi ancaman yang abstrak; ini adalah realitas yang lived experience bagi masyarakat Pasifik. Dalam konteks ini, pemahaman awal Pasifik tentang hubungan antara gender dan lingkungan telah terbukti prophetik. Perempuan Pasifik, sebagai pengelola utama sumber daya alam rumah tangga, berada di garis depan dampak krisis iklim. Namun, pengetahuan tradisional mereka tentang pola cuaca, tanaman tahan kekeringan, dan konservasi air juga menjadikan mereka agen adaptasi yang paling penting. Dunia sekarang berjuang untuk "menghijaukan" ekonominya dan membangun ketahanan. Pasifik telah lama memahami bahwa ketahanan ini tidak mungkin tercapai tanpa memberdayakan setengah dari populasinya, yang memegang kunci untuk praktik-praktik berkelanjutan. Pengalaman Pasifik dengan demikian memberikan bukti yang tak terbantahkan bagi proposisi bahwa kesetaraan gender dan keadilan iklim adalah dua sisi dari mata uang yang sama.

 

Pasifik sebagai Medan Pertarungan antara Tradisi dan Transformasi: Perjalanan Pasifik juga menyoroti kontradiksi universal dalam perjuangan untuk kesetaraan gender. Di satu sisi, kawasan ini telah menghasilkan pemimpin perempuan yang tangguh seperti Presiden Hilda Heine dan telah membuat kemajuan dalam reformasi hukum. Di sisi lain, seperti banyak wilayah di dunia, Pasifik terus bergumul dengan warisan patriarki yang dalam dan tingkat kekerasan berbasis gender (GBV) yang tinggi. Perjuangan ini bukanlah tanda kegagalan yang unik, tetapi sebuah cerminan dari pertarungan global yang lebih luas. Bagaimana masyarakat merangkul perubahan sambil menghormati identitas budaya? Bagaimana kita mentransformasi norma-norma berbahaya tanpa menimbulkan resistensi yang kontra-produktif? Tantangan-tantangan yang dihadapi Pasifik dalam menavigasi jalan ini adalah microcosm dari tantangan yang dihadapi oleh komunitas di seluruh dunia, dari Amerika Latin hingga Asia Selatan. Refleksi atas perjalanan Pasifik memaksa kita untuk menyadari bahwa tidak ada jalan pintas yang mudah; perubahan yang berarti membutuhkan dialog yang sabar, kepemimpinan yang berani, dan pengakuan bahwa budaya bukanlah monolit, tetapi sebuah medan pertarungan yang dinamis.

 

3: “Warisan Kepemimpinan”: Sebuah Filsafat untuk Masa Depan yang Komunal dan Ekologis.

 

Ketika PM Manele menyebut "warisan kepemimpinan" Pasifik, ia merujuk pada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebijakan yang sukses. Warisan ini mengandung benih-benih sebuah filsafat politik alternative sebuah cara untuk membayangkan masyarakat yang berpusat pada nilai-nilai komunitas dan ekologi.

 

Kepemimpinan sebagai Stewardship: Berbeda dengan model kepemimpinan yang hierarkis dan berbasis pada kekuasaan, konsep kepemimpinan yang tergambar dari pernyataan PIF dan sejarah Platform Aksi Pasifik lebih dekat dengan ide stewardship atau penatalayanan. Pemimpin adalah pelayan rakyatnya dan penjaga warisan ekologisnya. Konsep ini selaras dengan banyak tradisi Pasifik di mana kepemimpinan datang dengan tanggung jawab besar terhadap komunitas dan tanah. Ketika diterapkan pada kesetaraan gender, ini berarti bahwa memberdayakan perempuan bukan hanya tentang hak, tetapi tentang memanfaatkan kemampuan dan pengetahuan mereka yang unik untuk kepentingan kelangsungan hidup dan kemakmuran kolektif. Ini adalah visi kepemimpinan yang inklusif dan relasional.

· Interdependensi sebagai Prinsip Organisasi: Filsafat sosial yang mendasari pendekatan Pasifik adalah interdependensi. Di kepulauan kecil, tidak ada yang bisa bertahan hidup sendirian. Keluarga, pulau, dan bangsa-bangsa saling bergantung. Prinsip ini, yang tertanam dalam Platform Aksi 1994, menawarkan alternatif yang kuat terhadap individualisme yang ekstrem yang mendominasi banyak masyarakat modern. Ia menyarankan bahwa jalan menuju kesetaraan gender tidak terletak pada memisahkan perempuan dari komunitas mereka, tetapi pada menciptakan kembali komunitas tersebut berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan saling menghormati. Bagi dunia yang menghadapi keterpisahan sosial dan krisis kesepian, pelajaran tentang interdependensi dari Pasifik ini sangat berharga.

 

4: Sebuah Peta Jalan untuk Dunia yang Bergejolak: Pelajaran dari Pasifik.

 

Jadi, apa yang dapat dipelajari dunia dari perjalanan 30 tahun Pasifik? Refleksi ini menghasilkan beberapa pelajaran yang mendalam:

 

1. Lokalisasi adalah Kunci: Platform Aksi Pasifik 1994 adalah pengingat yang abadi bahwa agenda global harus dilokalkan untuk menjadi efektif. Kesetaraan gender tidak akan pernah tercapai melalui pendekatan one-size-fits-all. Keberhasilan bergantung pada kemampuan untuk merangkul konteks budaya, ekologis, dan sejarah yang spesifik. Pelajarannya bagi mitra pembangunan adalah untuk mendengarkan terlebih dahulu, dan merancang program berdasarkan realitas lokal, bukan asumsi eksternal.

2. Pendekatan Holistik adalah Satu-satunya Jalan: Pasifik tidak pernah memisahkan kesetaraan gender dari isu-isu lain. Itu terintegrasi dengan pembangunan ekonomi, keamanan lingkungan, dan tata kelola. Dalam dunia yang semakin terhubung dan menghadapi krisis yang saling terkait iklim, kesehatan, ketidaksetaraan pendekatan sektoral yang kaku sudah tidak memadai lagi. Kita harus mengikuti contoh Pasifik dan mengadopsi pendekatan holistik yang melihat keterkaitan antara semua tantangan ini.

3. Ketahanan Dibangun dari Bawah Ke Atas: Ketahanan iklim Pasifik dibangun di atas pengetahuan dan tindakan perempuan di tingkat komunitas. Ini menunjukkan bahwa investasi yang paling berarti untuk masa depan yang berkelanjutan seringkali adalah investasi dalam pemberdayaan akar rumput, dalam memperkuat kapasitas lokal, dan dalam mempercayai kebijaksanaan masyarakat yang hidup paling dekat dengan tanah dan lautan.

 

Kesimpulan:

 

Peringatan 30 tahun Beijing di PBB biasanya menjadi momen untuk menilai sejauh mana dunia telah memenuhi janji-janjinya. Pernyataan kohesif dari para pemimpin Pasifik mengubah narasi ini. Itu bukan hanya laporan kemajuan; itu adalah sebuah undangan untuk belajar.

 

"Dari Pasifik untuk Dunia" adalah sebuah panggilan untuk kerendahan hati epistemic untuk mengakui bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan tentang bagaimana membangun masa depan yang setara dan berkelanjutan tidak hanya berasal dari pusat-pusat kekuasaan tradisional. Itu bersumber dari komunitas-komunitas yang telah lama mempraktikkan prinsip-prinsip interdependensi dan stewardship ekologis.

 

Perjalanan tiga dekade Pasifik pasca-Beijing adalah sebuah kisah tentang visi yang mendahului zamannya, tentang perjuangan yang berkelanjutan, dan tentang kontribusi yang terus berlanjut pada proyek kemanusiaan yang lebih besar. Ketika planet ini menghadapi ketidakpastian yang mendalam, suara dari Pasifik dengan penekanannya pada komunitas, keadilan ekologis, dan kepemimpinan inklusif tidak lagi menjadi suara pinggiran. Ini adalah suara yang penting, suara yang prophetic, dan yang paling penting, suara yang menawarkan sebuah peta jalan menuju masa depan yang tidak hanya setara, tetapi juga layak huni untuk semua. Warisan sejati dari perjalanan ini mungkin belum sepenuhnya terwujud di Pasifik sendiri, tetapi visinya telah memberikan dunia sesuatu yang berharga: sebuah kompas moral untuk navigasi di perairan yang bergejolak di abad ke-21.

 


Posting Komentar untuk "Dari Pasifik untuk Dunia: Refleksi 30 Tahun Perjalanan Kesetaraan Gender Pasca-Konferensi Beijing. "