Perempuan Kiribati di UNGA80; dalam Peringatan Tiga Puluh Tahun Perjalanan Kesetaraan Gender.
Perempuan Kribati di UNGA80; Dalam Peringatan Tiga Puluh Tahun Perjalanan Kesetaraan Gender.
![]() |
| Wanita Kiribati Di Sidang Umum perserikatan Bangsa-Bangsa. |
Perempuan Kiribati di UNGA80; dalam Peringatan Tiga Puluh Tahun Perjalanan Kesetaraan Gender.
Analisis atas Partisipasi dan Representasi Perempuan Pasifik dalam Refleksi Global Platform Aksi Beijing.
Pendahuluan: Sebuah Perspektif dari Pinggiran yang Menjadi Pusat.
Di balik gemerlap pidato para pemimpin dunia di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sidang Umum ke-80 (UNGA80) menyisakan sebuah narasi
yang lebih dalam dan sering kali terabaikan: narasi dari mereka yang berada di
garis depan baik dari perjuangan kesetaraan gender maupun dampak krisis planet perempuan
dari negara-negara kepulauan kecil seperti Kiribati. Ketika Perdana Menteri
Kepulauan Solomon sekaligus Ketua Forum Kepululauan Pasifik (PIF), Yang
Terhormat Jeremiah Manele, menyampaikan pernyataan kolektif kawasan itu dalam
peringatan 30 tahun Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan, suaranya bukan
hanya mewakili pemerintah, tetapi juga menggema bagi perempuan Kiribati,
Marshall Islands, Tuvalu, dan Fiji.
Peringatan ini bukan sekadar acara seremonial. Ia adalah sebuah
momen audit global terhadap janji-janji Platform Aksi Beijing. Dan bagi
perempuan Kiribati, audit ini terjadi dalam bayangan ancaman eksistensial:
kenaikan permukaan laut yang secara harfiah mengikis tanah air mereka. Ketika
PM Manele menegaskan, "Setahun sebelum Beijing, kawasan ini meluncurkan
Platform Aksi Pasifik yang dengan berani menempatkan kesetaraan gender sebagai
inti agenda regional kita," pernyataan itu mengandung makna yang sangat
konkret bagi seorang perempuan petani di Pulau Abaiang yang berjuang melawan
intrusi air asin ke kebunnya, atau bagi seorang ibu di Tarawa Selatan yang
harus berjalan lebih jauh untuk mencari air tawar.
Artikel analisis ini akan menyelami makna partisipasi baik yang
terlihat maupun yang tersirat dari perempuan Kiribati dan Pasifik pada umumnya
dalam refleksi global ini. Kita akan mengeksplorasi bagaimana warisan
kepemimpinan Pasifik yang dibanggakan itu diterjemahkan dalam kehidupan
sehari-hari perempuan di kawasan yang paling rentan di dunia, dan bagaimana
suara mereka, meskipun mungkin tidak terdengar langsung di podium, penting
untuk memaknai ulang perjalanan 30 tahun sejak Beijing.
1: Konteks Ganda: Menjadi Perempuan dan Menjadi Warga Negara Kepulauan yang Terancam.
Untuk memahami sepenuhnya posisi perempuan Kiribati, seseorang
harus memahami konteks ganda yang membentuk kehidupan mereka. Mereka menghadapi
tantangan gender universal seperti kekerasan berbasis gender, kesenjangan
representasi politik, dan beban kerja perawatan yang tidak dibayar yang
diperburuk secara eksponensial oleh konteks kerentanan lingkungan dan geografis
Kiribati yang unik.
1. Kerentanan Iklim yang Diperparah oleh Gender: Perubahan iklim
bukanlah konsep abstrak di Kiribati; itu adalah realitas harian. Perempuan,
sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan rumah tangga mencari air, mengelola
makanan, merawat keluarga merasakan dampaknya secara paling langsung.
Ketahanan Pangan dan Air: Intrusi air asin ke lensa air tawar
(aquifer) mencemari sumber air minum utama. Perempuan dan anak perempuan, yang
secara tradisional bertugas mengumpulkan air, harus berjalan lebih jauh,
menghadapi peningkatan risiko kekerasan dan menghabiskan waktu yang seharusnya
bisa digunakan untuk pendidikan atau kegiatan produktif lainnya. Kebun
tradisional, yang sering dikelola oleh perempuan, hancur karena banjir rob dan
pengasinan tanah.
Kesehatan dan Keselamatan: Peristiwa cuaca ekstrem yang semakin
sering mengancam keselamatan fisik. Stres dan trauma akibat ketidakpastian iklim
juga berkontribusi pada memburuknya kesehatan mental, yang dampaknya lebih
besar pada perempuan yang sering menjadi penopang emosional keluarga.
2. Ketahanan dan Pengetahuan Tradisional: Namun, narasinya bukan
hanya tentang kerentanan. Perempuan Kiribati adalah pemegang pengetahuan
tradisional tentang konservasi sumber daya, pengelolaan pasca-panen, dan teknik
adaptasi lokal. Mereka adalah ahli dalam membaca tanda-tanda alam, sebuah
pengetahuan yang tak ternilai untuk ketahanan komunitas. Platform Aksi Pasifik
1994 dengan visioner mengakui peran kritis ini, jauh sebelum dunia menyadari
pentingnya menghubungkan gender dengan keadilan iklim.
2: UNGA80 sebagai Panggung: Antara Representasi Simbolis dan Agency Nyata.
Pernyataan PIF yang disampaikan oleh PM Manele, dan didukung oleh
pemimpin seperti Presiden Marshall Hilda Heine, adalah bentuk representasi
politik tingkat tinggi. Ini sangat penting. Namun, analisis kritis harus
mempertanyakan: sejauh mana suara perempuan akar rumput Kiribati benar-benar
terwakili dalam pernyataan kolektif ini?
1. Kekuatan dari Representasi Kolektif:
Peningkatan Posisi Tawar: Dengan berbicara sebagai sebuah blok
yang kohesif, Pasifik meningkatkan daya ungkit diplomatiknya. Isu-isu yang
menjadi perhatian perempuan Kiribati
seperti pendanaan adaptasi iklim yang responsif gender didorong dengan
kredibilitas yang lebih besar di panggung global.
· Pengakuan atas Kepeloporan: Dengan menyoroti Platform Aksi
Pasifik 1994, para pemimpin menegaskan bahwa Pasifik memiliki agency dan
visinya sendiri. Ini secara tidak langsung mengakui bahwa solusi untuk
tantangan perempuan Pasifik harus dikembangkan secara kontekstual, bukan
diimpor begitu saja dari luar.
2. Jarak antara Podium dan Pantai:
Masalah Akses dan Partisipasi Langsung: Sangat kecil kemungkinan
bahwa seorang aktivis perempuan dari komunitas terpencil di Kiribati memiliki
akses untuk duduk di ruang sidang PBB. Partisipasi sering kali terbatas pada
perwakilan pemerintah dan elit LSM yang memiliki sumber daya. Hal ini
menimbulkan risiko bahwa prioritas yang diangkat di New York mungkin tidak
sepenuhnya selaras dengan kebutuhan yang paling mendesak di lapangan.
Retorika vs. Realitas Anggaran: Pernyataan yang berani di PBB
harus diikuti dengan alokasi anggaran nasional yang memadai untuk
program-program pemberdayaan perempuan. Tantangan bagi Kiribati, dengan sumber
daya fiskalnya yang terbatas, adalah memastikan bahwa komitmen global
diterjemahkan menjadi investasi nyata dalam kesehatan, pendidikan, dan peluang
ekonomi bagi perempuan di semua pulau.
3: Mendengarkan Suara yang Tidak Terdengar: Apa yang Dikatakan oleh Perempuan Kiribati?
Meskipun mungkin tidak hadir secara fisik, suara perempuan
Kiribati dapat dipahami melalui penelitian, laporan LSM, dan advokasi yang
dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil Pasifik.
1. Prioritas Kehidupan Sehari-hari: Bagi banyak perempuan
Kiribati, prioritas "kesetaraan gender" mungkin lebih praktis dan
mendesak:
Akses ke Layanan Kesehatan Dasar: termasuk kesehatan reproduksi
dan seksual, terutama di pulau-pulau terluar.
Pendidikan untuk Anak Perempuan: Memastikan bahwa anak perempuan
tidak putus sekolah karena beban pekerjaan rumah tangga yang meningkat akibat
tekanan lingkungan.
Perlindungan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Yang tingkatnya
memprihatinkan di kawasan Pasifik, dan dapat diperburuk oleh stres terkait
iklim.
· Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan Adaptasi Iklim:
Memastikan bahwa proyek-proyek infrastruktur dan program ketahanan iklim
pemerintah melibatkan perempuan dalam perencanaan dan implementasinya.
2. Menuntut Keadilan Iklim sebagai Prasyarat Keadilan Gender: Bagi
perempuan Kiribati, perjuangan untuk kesetaraan gender tidak dapat dipisahkan
dari tuntutan keadilan iklim. Mereka berada di garis depan sebuah krisis yang
tidak mereka ciptakan. Oleh karena itu, setiap refleksi tentang Beijing harus
mencakup tuntutan agar negara-negara penghasil emisi terbesar bertanggung jawab
dan memberikan pendanaan yang memadai, tidak hanya untuk mengurangi emisi,
tetapi juga untuk membantu komunitas seperti mereka beradaptasi dan membangun
ketahanan dengan cara yang memberdayakan perempuan.
4: Jalan Ke Depan: Dari Peringatan menuju Aksi yang Berpusat pada Perempuan Pasifik.
Peringatan 30 tahun Beijing di UNGA80 harus menjadi katalis untuk
aksi yang lebih terfokus dan bermakna. Berikut adalah beberapa rekomendasi yang
berpusat pada kebutuhan perempuan Kiribati dan Pasifik pada umumnya:
1. Lokalisasi Agenda Global: Platform Aksi Beijing dan SDGs harus
diterjemahkan ke dalam rencana aksi nasional dan lokal yang spesifik untuk
konteks kepulauan Pasifik. Ini berarti:
· Kebijakan Iklim yang Responsif Gender: Semua strategi adaptasi
iklim nasional Kiribati harus memasukkan analisis gender yang mendalam dan
mekanisme partisipasi yang memastikan suara perempuan didengar.
· Investasi dalam Ekonomi Biru dan Hijau yang Inklusif:
Menciptakan peluang ekonomi bagi perempuan dalam sektor-sektor berkelanjutan
seperti perikanan budidaya yang bertanggung jawab, pariwisata ekologi, dan
energi terbarukan.
2. Memperkuat Mekanisme Akuntabilitas:
Data yang Terpilah: Mengumpulkan dan menggunakan data yang
terpilah menurut gender untuk semua indikator pembangunan, sehingga
kemajuan—atau ketiadaan kemajuan—dapat dipantau secara efektif.
Pemberdayaan LSM Perempuan Lokal: Mendanai dan memperkuat kapasitas
organisasi perempuan akar rumput di Kiribati, yang paling memahami konteks
lokal dan paling efektif dalam menjangkau perempuan yang paling terpinggirkan.
3. Diplomasi yang Konsisten dan Berani: Pemerintah Kiribati,
dengan dukungan kolektif PIF, harus terus menggunakan setiap kesempatan di
forum internasional seperti UNGA dan COP untuk:
Menghubungkan Isu Gender dan Iklim: Secara konsisten menekankan
bahwa masa depan yang setara mustahil dicapai tanpa mengatasi ketidakadilan
iklim.
Mendesak Pemenuhan Komitmen Pendanaan: Menuntut agar pendanaan
iklim yang dijanjikan oleh negara-negara maju mudah diakses oleh komunitas
lokal dan dialokasikan untuk program-program yang secara khusus memberdayakan
perempuan.
Kesimpulan:
Pernyataan PIF di UNGA80 adalah pengingat yang penting tentang
warisan kepemimpinan Pasifik dalam kesetaraan gender. Namun, warisan itu adalah
sebuah proyek yang belum selesai. Keberhasilan sejatinya tidak hanya diukur
oleh pidato yang berani di New York, tetapi oleh peningkatan nyata dalam
kehidupan perempuan di setiap pulau di Kiribati.
Perempuan Kiribati bukanlah korban pasif. Mereka adalah agen
ketahanan, pemegang pengetahuan, dan pilar komunitas mereka. Peringatan 30
tahun Beijing akan memiliki arti yang sesungguhnya hanya jika ia mengarah pada
tindakan yang memperkuat kapasitas mereka, memastikan partisipasi penuh mereka,
dan mengakui bahwa masa depan yang berkelanjutan dan setara untuk Kiribati dan
untuk dunia tidak mungkin terwujud tanpa kepemimpinan dan ketahanan mereka.
Saat air pasang terus naik, mendengarkan dan bertindak berdasarkan kebutuhan
mereka bukan hanya masalah kebijakan yang tepat; itu adalah masalah
kelangsungan hidup dan keadilan. Suara mereka mungkin berasal dari pulau-pulau
kecil di tengah lautan yang luas, tetapi kebijaksanaan yang mereka bawa sangat
penting untuk memandu perjalanan global kita menuju masa depan yang lebih adil.

Posting Komentar untuk "Perempuan Kiribati di UNGA80; dalam Peringatan Tiga Puluh Tahun Perjalanan Kesetaraan Gender."