Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kerja Sama Lintas Batas dalam Shaghai Cooperation Organization (SCO).

 Kerja Sama Lintas Batas dalam Shaghai Cooperation Organization (SCO).

Analisis Kerja Sama Lintas Batas dalam Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO).

Gambar: Shaghai Cooperation Organization (SCO).

Kerjasama Lintas Batas Dalam Organisasi SCO akan membahasa beberapa Poin:

1. Fitur Kebijakan  tiongkok di bidang perbatasan dan kerjasama lintas batas.

2. provinsi barat laut tiongkok dan timur jauh rusia: peluang dan kondisi untuk kerja sama lintas batas.

 

Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), yang didirikan pada tahun 2001, telah berkembang dari sebuah forum yang berfokus pada penyelesaian sengketa perbatasan dan peningkatan keamanan bersama menjadi sebuah organisasi regional komprehensif yang mencakup dimensi ekonomi, budaya, dan strategis. Meskipun mandat keamanannya melawan "tiga kejahatan" terorisme, separatisme, dan ekstremisme tetap menjadi fondasi utamanya, kerja sama lintas batas telah menjadi pilar yang semakin vital dalam agendanya. Kerja sama ini bukan sekadar memfasilitasi perdagangan; melainkan merupakan alat strategis untuk mendorong stabilitas regional, integrasi ekonomi, dan ikatan antarmasyarakat di seluruh daratan Eurasia yang luas. Keberhasilan dan sifat kerja sama ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan anggotanya yang paling terkemuka, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan paling nyata terwujud dalam interaksi antarwilayah tertentu, terutama wilayah Barat Laut Tiongkok dan Timur Jauh Rusia. Analisis ini akan mengkaji fitur-fitur kebijakan lintas batas Tiongkok dalam kerangka SCO dan kemudian mengkaji peluang serta kondisi spesifik untuk kerja sama antara kedua kawasan penting ini.

 

1. Fitur-fitur Kebijakan Tiongkok dalam Kerja Sama Lintas Batas.

 

Pendekatan Tiongkok terhadap kerja sama lintas batas dalam SCO bukanlah strategi yang terisolasi, melainkan merupakan komponen integral dari kebijakan luar negeri dan ambisi ekonominya yang lebih luas, terutama Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Kebijakan-kebijakannya dicirikan oleh metodologi yang multifaset, strategis, dan sangat terstruktur yang dirancang untuk mengamankan kepentingannya sekaligus mempromosikan visi takdir regional bersama. Fitur-fitur utama kebijakan ini dapat dipecah menjadi beberapa komponen yang saling terkait.

 

Pertama, dan yang terpenting, adalah keutamaan konektivitas dan pembangunan infrastruktur. Tiongkok memandang konektivitas fisik sebagai prasyarat fundamental bagi setiap kerja sama lintas batas yang bermakna. Filosofi inilah yang menjadi kekuatan pendorong di balik upaya tanpa henti untuk membiayai dan membangun jaringan jalan raya, rel kereta api, jaringan pipa, dan kabel serat optik yang menghubungkan Daerah Otonomi Uighur Xinjiang dengan Asia Tengah dan sekitarnya. Proyek-proyek seperti pipa gas Tiongkok-Asia Tengah, jalur kereta api Tiongkok-Kirgizstan-Uzbekistan (sebuah megaproyek yang telah lama dibahas), dan modernisasi titik-titik penyeberangan perbatasan merupakan perwujudan nyata dari kebijakan ini. Bagi Tiongkok, infrastruktur ini memiliki beragam tujuan: mengamankan energi alternatif dan rute perdagangan yang terdiversifikasi dari titik-titik sempit maritim seperti Selat Malaka ("Dilema Malaka"), menciptakan saling ketergantungan ekonomi yang mengikat negara-negara tetangganya dengan ekonomi Tiongkok, dan mendorong pembangunan di wilayah baratnya yang relatif lebih miskin, khususnya Xinjiang.


Kedua, Tiongkok menggunakan statecraft ekonomi sebagai alat utama keterlibatannya. Hal ini melibatkan pemanfaatan sumber daya keuangan dan kemampuan manufakturnya yang besar untuk mendorong perdagangan dan investasi lintas batas. Instrumen kunci di sini adalah promosi penyelesaian dengan mata uang lokal, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan memperkuat peran internasional Renminbi Tiongkok (RMB). Lebih lanjut, Tiongkok secara aktif mendorong badan usaha milik negara (BUMN) dan perusahaan swasta yang kuat untuk "Go Global" dan berinvestasi di negara-negara anggota SCO, terutama di sektor-sektor yang sejalan dengan kepentingannya, seperti ekstraksi energi, logistik, dan telekomunikasi. Hal ini menciptakan hubungan ekonomi yang mendalam dan memberi Tiongkok pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian mitra-mitranya. Pembentukan Konsorsium Antarbank SCO dan diskusi seputar Bank Pembangunan SCO merupakan contoh lebih lanjut bagaimana Tiongkok membentuk arsitektur keuangan untuk memfasilitasi model kerja sama lintas batas yang disukainya.

 

Ketiga, kebijakan Tiongkok sangat terkait dengan agenda keamanan domestiknya, terutama terkait Xinjiang. Stabilitas di Xinjiang merupakan prioritas utama bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT). Tujuan utama kebijakan lintas batasnya adalah mengekspor stabilitas ini dan mendapatkan dukungan dari mitra SCO, terutama negara-negara Asia Tengah, dalam kampanye melawan apa yang disebutnya sebagai "terorisme, separatisme, dan ekstremisme." Hal ini melibatkan kerja sama keamanan yang intensif, termasuk berbagi intelijen, latihan militer gabungan (seperti latihan rutin "Misi Perdamaian"), dan menekan pemerintah negara-negara tetangga untuk menindak kelompok diaspora Uighur dan mencegah mereka beroperasi di dalam wilayah perbatasan mereka. Dengan membingkai keprihatinan domestiknya dalam bahasa tantangan keamanan bersama SCO, Tiongkok berhasil mengamankan kebijakan lintas batasnya, memastikan bahwa kerja sama keamanan tetap menjadi prioritas utama bagi organisasi tersebut dan bahwa mitranya membantu menjaga kepentingan internal inti Tiongkok.

 

Keempat, Tiongkok secara aktif mempromosikan konsep pertukaran "masyarakat" dan diplomasi budaya. Aspek "kekuatan lunak" dari kebijakannya ini dirancang untuk menumbuhkan citra Tiongkok yang lebih positif, meredakan kecurigaan historis, dan membangun fondasi niat baik. Hal ini dicapai melalui inisiatif-inisiatif seperti peningkatan jumlah beasiswa bagi mahasiswa dari negara-negara SCO untuk belajar di Tiongkok, penyelenggaraan festival budaya, promosi pariwisata di sepanjang jalur Jalur Sutra kuno, dan pendirian Institut Konfusius untuk pengajaran bahasa dan budaya Tiongkok. Tujuannya adalah untuk menciptakan generasi elit dan profesional di negara-negara tetangga yang mengenal dan bersikap positif terhadap Tiongkok, sehingga memfasilitasi kerja sama politik dan ekonomi jangka panjang yang lebih lancar.

 

Terakhir, ciri khas kebijakan Tiongkok adalah preferensinya yang kuat terhadap bilateralisme dalam kerangka multilateral. Meskipun SCO menyediakan platform menyeluruh yang berharga untuk dialog dan pembangunan konsensus mengenai prinsip-prinsip, Tiongkok seringkali lebih memilih untuk bernegosiasi dan melaksanakan proyek-proyek lintas batas besar secara bilateral dengan masing-masing negara anggota. Pendekatan ini memungkinkan Tiongkok untuk memanfaatkan kekuatan asimetrisnya secara lebih efektif, menawarkan insentif yang disesuaikan dan menghindari kerumitan dalam mencapai konsensus di antara banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda. SCO berfungsi sebagai payung legitimasi dan mekanisme pembangunan kepercayaan, tetapi kesepakatan konkret, baik untuk jaringan pipa dengan Turkmenistan maupun jalur kereta api dengan Kazakhstan, seringkali dicapai secara bilateral. Strategi ini memastikan bahwa Tiongkok tetap menjadi simpul utama dalam jaringan kerja sama regional, memperkuat posisinya sebagai kekuatan regional yang tak tergantikan.

 

2. Barat Laut Tiongkok dan Timur Jauh Rusia: Peluang dan Kondisi Kerja Sama Lintas Batas.

 

Map SCO dan Anggota Negaranya.

Perbatasan antara Timur Laut Tiongkok (meliputi provinsi Heilongjiang, Jilin, dan Liaoning, serta Daerah Otonomi Mongolia Dalam) dan Distrik Federal Timur Jauh Rusia (RFE) merupakan gambaran mikrokosmos yang menarik dari dinamika lintas batas SCO. Hubungan ini didefinisikan oleh asimetri ekstrem, potensi komplementer yang sangat besar, dan sejarah kecurigaan dan keterlibatan yang kompleks. Peluang kerja sama sangat luas, didorong oleh logika ekonomi fundamental, tetapi diupayakan dalam kondisi spesifik yang dibentuk oleh kecemasan geopolitik dan demografis yang mendalam.

 

Peluang kerja sama lintas batas terutama bersifat ekonomi dan strategis. Bagi Tiongkok, RFE merupakan sumber bahan baku yang krusial dan gerbang potensial menuju Arktik. Wilayah ini sangat kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak, gas alam, kayu, mineral, dan ikan. Investasi dan permintaan Tiongkok sangat penting bagi pengembangan sumber daya ini. Proyek-proyek utama seperti pipa gas Power of Siberia, yang mengangkut gas dari Siberia ke Tiongkok, merupakan perwujudan kemitraan energi ini. Lebih lanjut, Tiongkok memandang pelabuhan-pelabuhan RFE yang belum berkembang, seperti Vladivostok, Zarubino, dan Vostochny, sebagai jalur potensial menuju Laut Jepang, yang menawarkan akses ke Pasifik bagi provinsi Jilin yang terkurung daratan di Tiongkok, dan membantu mengintegrasikan RFE ke dalam rencana Jalur Sutra Maritimnya yang lebih luas. Bagi Rusia, peluangnya terletak pada pemanfaatan modal, teknologi, dan tenaga kerja Tiongkok untuk mengembangkan wilayahnya yang paling terpencil dan jarang penduduknya. RFE, yang mencakup lebih dari 40% wilayah Rusia tetapi hanya menampung kurang dari 5% populasinya, mengalami kekurangan investasi kronis, infrastruktur yang buruk, dan penurunan populasi. Investasi Tiongkok dipandang di Moskow sebagai cara yang paling layak untuk memacu pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan menambatkan wilayah yang secara strategis vital ini bagi negara Rusia, terutama dalam konteks peralihannya ke Asia pasca-2022 setelah isolasinya dari Barat.

 

Selain sumber daya, terdapat potensi yang signifikan di bidang pertanian dan logistik. Wilayah Ekonomi Timur Jauh (RFE) memiliki lahan subur yang luas, sementara Tiongkok memiliki pasar domestik yang besar dengan kebutuhan ketahanan pangan yang terus meningkat. Kerja sama pertanian lintas batas, di mana perusahaan Tiongkok menyewa lahan di Rusia untuk pertanian, sudah menjadi tren yang berkembang. Di bidang logistik, pengembangan koridor transportasi lintas batas merupakan prioritas utama. Jembatan kereta api Tongjiang-Nizhneleninskoye Tiongkok-Rusia dan jembatan jalan raya Blagoveshchensk-Heihe, keduanya baru saja selesai dibangun setelah tertunda puluhan tahun, merupakan bukti nyata dari tekad politik yang baru untuk menghubungkan kedua wilayah secara fisik. Infrastruktur ini bertujuan untuk meningkatkan volume perdagangan bilateral secara drastis, yang telah melampaui target $200 miliar lebih cepat dari jadwal, sebagian besar didorong oleh perdagangan regional ini.

 

Namun, peluang-peluang ini dikejar di bawah serangkaian kondisi yang kompleks dan seringkali restriktif. Kondisi yang paling signifikan adalah kecemasan demografis Rusia yang mendalam dan ketakutan historis terhadap migrasi Tiongkok. Kesenjangan populasi sangat mencengangkan: lebih dari 100 juta orang tinggal di tiga provinsi timur laut Tiongkok saja, dibandingkan dengan hanya lebih dari 8 juta orang di seluruh Timur Jauh Rusia. Masyarakat Rusia telah lama memendam "Sinofobia" yang berakar pada ketakutan akan "kolonisasi damai" atau "ekspansi hijau" de facto melalui jalur demografis dan ekonomi. Ketakutan ini telah mendorong Moskow untuk memberlakukan pembatasan ketat terhadap tenaga kerja dan investasi Tiongkok, terutama terkait kepemilikan tanah. Meskipun Rusia menyambut baik modal Tiongkok untuk proyek-proyek tertentu, Rusia dengan cermat mengontrol dan membatasi keberadaan pekerja Tiongkok, seringkali merotasikan mereka dengan visa sementara untuk mencegah pemukiman permanen. Kecemasan ini merupakan penghambat utama bagi kedalaman dan kecepatan integrasi.


Kondisi kedua adalah asimetri inheren dalam hubungan tersebut. Meskipun kedua belah pihak diuntungkan, hubungan tersebut pada dasarnya saling melengkapi, bukan setara. RFE berfungsi sebagai wilayah pedalaman sumber daya dan koridor transit bagi ekonomi Tiongkok yang jauh lebih besar dan lebih dinamis. Terdapat risiko bagi Rusia untuk jatuh ke dalam ketergantungan inti-pinggiran klasik, di mana wilayah timurnya secara ekonomi menjadi subordinat terhadap Tiongkok timur laut, mengekspor bahan mentah dan mengimpor barang jadi. Moskow sangat menyadari hal ini dan berupaya menyeimbangkan kerja sama dengan diversifikasi, mencari investasi dari kekuatan Asia lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan, meskipun dengan keberhasilan yang terbatas, terutama setelah invasi Ukraina. Tindakan penyeimbangan ini merupakan syarat inti dari keterlibatan lintas batas mereka.

 

Terakhir, konteks strategis, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, telah mengubah kondisi kerja sama secara mendalam. Dengan Rusia yang menjadi paria di Barat dan semakin bergantung pada Tiongkok, dinamika kekuatan telah bergeser lebih jauh ke arah yang menguntungkan Beijing. Tiongkok kini memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dalam negosiasi mengenai harga energi, persyaratan investasi, dan penyelarasan strategis pembangunan RFE. Meskipun hal ini telah membuka peluang baru bagi kesepakatan yang sebelumnya terhenti, hal ini juga meningkatkan kecemasan Rusia tentang kedaulatan dan otonomi strategis jangka panjang atas wilayah Timur Jauhnya. Kerja sama terus meningkat karena kebutuhan bagi Rusia dan peluang bagi Tiongkok, tetapi hal ini terjadi di bawah kondisi baru dominasi Tiongkok yang tak terbantahkan dalam kemitraan tersebut.

 

Kesimpulan.


kesimpulannya, kerja sama lintas batas dalam SCO merupakan upaya yang multifaset dan strategis yang sebagian besar dibentuk oleh kebijakan proaktif Tiongkok terkait konektivitas, statecraft ekonomi, dan sekuritisasi. Studi kasus wilayah timur laut Tiongkok dan Timur Jauh Rusia menunjukkan bahwa meskipun peluang ekonomi yang kuat mendorong kerja sama ke depan, peluang tersebut tak terelakkan diredam oleh kecemasan dan asimetri geopolitik yang mengakar. SCO menyediakan kerangka kerja politik dan keamanan esensial yang memungkinkan keterlibatan yang kompleks tersebut, tetapi masa depan hubungan lintas batas yang spesifik ini akan bergantung pada apakah kedua belah pihak, khususnya Rusia, dapat mengelola ketegangan yang melekat antara peluang ekonomi dan kerentanan strategis.

 

Posting Komentar untuk " Kerja Sama Lintas Batas dalam Shaghai Cooperation Organization (SCO)."