Teori Hubungan Internasional dalam Paradigma Positivis.
Teori Hubungan Internasional Dalam Paradigma Positivis.
Analisis Teori Hubungan Internasional dalam Paradigma Positivis.
Pendahuluan.
Paradigma positivis
telah mendominasi studi Hubungan Internasional selama beberapa dekade,
membentuk cara kita memahami, menganalisis, dan menjelaskan dinamika politik
global. Pendekatan ini berakar pada keyakinan bahwa realitas internasional
bersifat objektif, teratur, dan dapat dipelajari melalui metode ilmiah yang
ketat. Esai ini akan menganalisis perkembangan paradigma positivis dalam Hubungan
Internasional, dengan fokus pada neorealisme dan neoliberalisme sebagai
perwujudannya yang paling matang, alat metodologis yang digunakannya, serta
kritik-kritik substantif yang membentuk transformasinya dalam studi
kontemporer.
Munculnya dan Pembentukan Paradigma Positivis dalam Hubungan Internasional.
Paradigma positivis
dalam Hubungan Internasional muncul pasca Perang Dunia I sebagai respons
terhadap kegagalan pendekatan normatif dan legalistik dalam mencegah konflik
global. The "great debate" pertama dalam HI antara idealis dan realis
pada 1930-an menandai titik balik menuju pendekatan yang lebih ilmiah dan
empiris. E.H. Carr dalam "The Twenty Years' Crisis" (1939) secara
meyakinkan mengkritik idealisme dan memperjuangkan pendekatan realis yang
berdasarkan analisis objektif tentang kekuasaan.
Puncak
institutionalisasi paradigma positivis terjadi selama 1950-an dan 1960-an
melalui "behavioral revolution" yang dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu politik Amerika. Revolusi perilaku ini berusaha menjadikan Hubungan
Internasional sebagai ilmu sosial yang benar dengan menerapkan metode
kuantitatif, pengujian hipotesis, dan pencarian hukum-hukum umum perilaku
internasional. David Easton dan Karl Deutsch menjadi tokoh kunci dalam
mempromosikan pendekatan sistemik dan kuantitatif dalam analisis politik
internasional.
Ciri-ciri fundamental
paradigma positivis dalam Hubungan Internasional meliputi: keyakinan pada
realitas objektif yang independen dari pengamat, pemisahan fakta dan nilai,
penekanan pada observasi dan pengukuran empiris, pencarian penjelasan kausal,
serta komitmen pada akumulasi pengetahuan kumulatif melalui pengujian
hipotesis. Paradigma ini mengasumsikan bahwa negara sebagai aktor rasional
dapat dipahami melalui pola perilaku yang konsisten dan terprediksi.
Neorealisme dan Neoliberalisme sebagai Bentuk Dewasa Paradigma Positivis.
Realisme dan Neorealisme.
Realisme klasik yang
dikembangkan oleh Hans Morgenthau dalam "Politics Among Nations"
(1948) telah meletakkan fondasi dengan enam prinsip politiknya yang berpusat
pada konsep kekuasaan. Namun, transformasi menuju bentuk yang lebih ilmiah
mencapai puncaknya dengan neorealisme Kenneth Waltz dalam "Theory of
International Politics" (1979).
Waltz melakukan
"parsimoni teoritis" dengan mengurangi kompleksitas politik
internasional menjadi tiga elemen dasar: prinsip ordering (anarki),
diferensiasi unit (negara sebagai unit fungsional serupa), dan distribusi
kemampuan. Struktur sistem internasional, khususnya distribusi kekuasaan,
menjadi variabel penjelas utama perilaku negara. Pendekatan ini sangat
positivis karena berusaha menciptakan teori parsimonius yang dapat menghasilkan
prediksi tesable tentang hasil sistemik.
Neorealisme
mengembangkan model deduktif yang elegan dimana perilaku negara dapat
diprediksi dari posisi mereka dalam struktur sistemik. Teori keseimbangan
kekuasaan Waltz, misalnya, berusaha merumuskan "hukum" perilaku
internasional yang berlaku universal, terlepas dari konteks historis atau
karakteristik domestik negara.
Liberalisme dan Neoliberalisme.
Sementara realisme
mengalami transformasi melalui neorealisme, liberalisme juga berkembang menjadi
neoliberal institutionalism melalui karya Robert Keohane dan Joseph Nye. Dalam
"Power and Interdependence" (1977), mereka mengembangkan kerangka
teoritis yang bersaing dengan realisme namun tetap dalam paradigma positivis.
Neoliberalisme menerima
banyak asumsi dasar neorealisme anarki sebagai kondisi ordering, negara sebagai
aktor utama, dan rasionalitas instrumental namun menekankan bagaimana institusi
internasional dapat memfasilitasi kerja sama dengan mengurangi ketidakpastian,
menyediakan informasi, dan mengurangi biaya transaksi.
Kontribusi Keohane
dalam "After Hegemony" (1984) lebih lanjut mengembangkan teori
regimes yang dapat diuji secara empiris. Dengan menggunakan alat-analisis
ekonomi seperti teori permainan dan rational choice, neoliberalisme berusaha
menunjukkan bagaimana kerja sama mungkin terjadi bahkan dalam kondisi anarki.
Pendekatan ini sangat positivis dalam komitmennya terhadap pengujian empiris
dan pengembangan teori kumulatif.
Kedua teori ini,
meskipun berbeda dalam penekanan, berbagi komitmen pada penjelasan sistemik,
metodologi ilmiah, dan pencarian pola umum perilaku internasional yang dapat
digeneralisasi.
Alat Metodologis Pendekatan Positivis dalam Hubungan internasional.
Paradigma positivis
mengandalkan seperangkat alat metodologis yang ketat untuk memastikan
objektivitas dan reliabilitas temuan penelitian. Metode kuantitatif menjadi
andalan, dengan penggunaan statistik inferensial untuk mengidentifikasi
hubungan kausal antar variabel. Dataset seperti Correlates of War Project
menjadi contoh bagaimana kompleksitas sejarah direduksi menjadi
variabel-variabel yang dapat diukur dan dianalisis secara statistik.
Eksperimen
laboratorium, meskipun kurang umum dalam Hubungan Internasional dibanding psikologi,
digunakan dalam bentuk simulasi dan teori permainan. Analisis game theory
seperti Prisoner's Dilemma dan Stag Hunt menjadi model formal untuk
menganalisis logika strategis kerja sama dan konflik.
Content analysis
sistematis terhadap dokumen kebijakan, pidato, dan media digunakan untuk
mengidentifikasi pola sikap dan perilaku negara. Pendekatan ini berusaha
menghilangkan subjektivitas peneliti melalui sistem koding yang
terstandarisasi.
Comparative case
studies dalam tradisi positivis berusaha mengontrol variabel dan mengisolasi
mekanisme kausal melalui perbandingan sistematis kasus-kasus yang mirip. Metode
ini bertujuan untuk menghasilkan generalisasi terbatas yang dapat berkontribusi
pada pengembangan teori kumulatif.
Kesamaan semua metode
ini adalah komitmen pada replicability, transparency, dan falsificationism prinsip
bahwa teori harus dapat diuji dan berpotensi dibuktikan salah melalui observasi
empiris.
Keterbatasan dan Kritik terhadap Paradigma Positivis.
Kritik Epistemologis dan Ontologis.
Paradigma positivis
menghadapi kritik substantif dari berbagai sudut. Kritik epistemologis
mempertanyakan klaim objektivitasnya, dengan menunjuk pada bagaimana teori
selalu dibentuk oleh nilai-nilai dan kepentingan tertentu. Robert Cox dengan
terkenal membedakan antara "teori problem-solving" (positivis) yang
menerima status quo dan "teori kritis" yang mempertanyakan
dasar-dasar sistem yang ada.
Kritik ontologis
menantang anggapan bahwa realitas internasional bersifat objektif dan
independen dari interpretasi manusia. Konstruktivis seperti Alexander Wendt
berargumen bahwa "anarki adalah apa yang negara buat darinya" makna
dan signifikansi struktur material dibentuk melalui ide, norma, dan
interpretasi.
Kritik Metodologis.
Kritik metodologis menunjuk
pada reduksionisme pendekatan positivis. Dengan berfokus pada variabel-variabel
yang dapat diukur, pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek-aspek kualitatif
seperti makna, identitas, dan budaya. Kompleksitas sejarah seringkali direduksi
menjadi variabel-variabel terisolasi yang kehilangan konteksnya.
Kritik juga ditujukan
pada ketidakmampuan pendekatan positivis dalam menangani perubahan
transformatif. Dengan berfokus pada pola-pola yang berulang, positivisme
cenderung mengabaikan perubahan historis yang fundamental dalam sistem
internasional.
Kritik Normatif.
Kritik normatif menuduh
positivisme mengabdi pada status quo dengan menerima parameter sistem existing
sebagai given. Pendekatan ini dituduh mengabaikan pertanyaan-pertanyaan
keadilan, emansipasi, dan etika dengan dalih objektivitas ilmiah.
Feminis seperti J. Ann
Tickner menunjukkan bagaimana positivisme mereproduksi bias maskulin dengan
menekankan objektivitas, rasionalitas, dan control sambil mengabaikan
pengalaman subjektif, emosi, dan relasionalitas.
Keadaan Saat Ini dan Transformasi Paradigma Positivis.
Perkembangan Kontemporer.
Meskipun menghadapi
kritik substantif, paradigma positivis tidak hilang tetapi telah mengalami
transformasi signifikan. Dalam neorealisme, perkembangan seperti
balance-of-threat theory Stephen Walt dan neoclassical realism mencoba
memasukkan variabel unit-level tanpa meninggalkan kerangka sistemik.
Dalam neoliberalisme,
perkembangan seperti rational design of international institutions dan teori
regimes yang lebih kompleks mencoba menanggapi kritik dengan memasukkan
pertimbangan distribusi kekuasaan dan heterogenitas preferensi.
Integrasi dengan Pendekatan Lain.
Transformasi paling
menarik terjadi dalam upaya integrasi dengan pendekatan lain. Analytic
eclecticism yang dipromosikan oleh Rudra Sil dan Peter Katzenstein berusaha
menggabungkan wawasan dari berbagai paradigma tanpa terikat pada komitmen
epistemologis tertentu.
Demikian pula,
perkembangan dalam quantitative methods seperti process tracing dan qualitative
comparative analysis berusaha menggabungkan kekuatan metode kuantitatif dengan
sensitivitas terhadap konteks dan mekanisme kausal yang biasanya menjadi
kekuatan pendekatan kualitatif.
Tantangan Kontemporer.
Paradigma positivis
menghadapi tantangan baru dari perkembangan seperti big data dan artificial
intelligence. Meskipun perkembangan ini menawarkan kemampuan analitis yang
lebih canggih, mereka juga memunculkan pertanyaan baru tentang objektivitas,
bias algoritmik, dan reduksionisme.
Krisis replikasi dalam
ilmu sosial juga mempengaruhi H Hubungan Internasional, dengan semakin
disadarinya masalah seperti p-hacking dan publication bias yang menggerogoti
klaim akumulasi pengetahuan kumulatif.
Kesimpulan.
Paradigma positivis
dalam Hubungan Internasional telah memberikan kontribusi signifikan terhadap
pengembangan disiplin ini sebagai ilmu sosial yang rigorous. Melalui
neorealisme dan neoliberalisme, paradigma ini telah menghasilkan teori-teori
elegan dengan kekuatan prediktif dan penjelasan yang jelas.
Namun, dominasi
paradigma ini telah menghadapi tantangan substantif yang memaksa transformasi
dan adaptasi. Masa depan paradigma positivis terletak pada kemampuannya untuk
mengintegrasikan wawasan dari pendekatan alternatif, mengembangkan metode yang
lebih sensitif terhadap konteks, dan menjawab kritik epistemologis dan normatif
yang dihadapinya.
Yang jelas, warisan
positivisme tetap relevan dalam penekanannya pada kejelasan konseptual,
ketelitian metodologis, dan akuntabilitas empiris. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan saling terhubung, komitmen pada analisis yang systematic dan
evidence-based tetap berharga, asalkan diimbangi dengan kesadaran akan
keterbatasan dan bias inherent dalam setiap pendekatan ilmiah.
Pergeseran menuju
pluralisme metodologis dan teoritis dalam Hubungan Internasional kontemporer
menunjukkan bahwa masa depan disiplin ini tidak terletak pada dominasi satu
paradigma tunggal, tetapi pada dialog produktif antara berbagai pendekatan dimana
positivisme terus memainkan peran penting, tetapi tidak lagi hegemonik.

Posting Komentar untuk "Teori Hubungan Internasional dalam Paradigma Positivis."