AFGHANISTAN SEBAGAI TANTANGAN GEOPOLITIK BAGI KAWASAN ASIA TENGAH.
AFGHANISTAN SEBAGAI TANTANGAN GEOPOLITIK BAGI KAWASAN ASIA TENGAH.
Pendahuluan.
Keberangkatan pasukan NATO dari
Afghanistan pada tahun 2021 menandai babak baru yang penuh ketidakpastian dalam
lanskap geopolitik Asia Tengah. Setelah dua dekade menjadi pusat intervensi
militer internasional, Afghanistan kini kembali menjadi episentrum yang
dinamis, dengan gelombang pengaruhnya yang berpotensi destabilisasi menyebar ke
utara, menuju republik-republik bekas Soviet di Asia Tengah. Kawasan ini, yang
terdiri dari Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan,
telah lama berjuang membangun stabilitas pasca-kemerdekaan, menghadapi
tantangan dari pemerintahan yang otoriter, ekonomi yang rentan, serta
batas-batas negara yang poros dan sulit dikendalikan. Kemunculan Taliban
sebagai penguasa de facto di Kabul telah mengubah kalkulasi keamanan regional
secara fundamental, menghidupkan kembali hantu-hantu masa lalu konflik etnis
dan keagamaan, serta membuka jalur baru bagi ancaman-ancaman transnasional.
Analisis ini akan mengkaji tiga dimensi kritis dari tantangan ini: pertama,
sifat multidimensi ancaman geopolitik yang ditimbulkan oleh Afghanistan; kedua,
implikasi dari berakhirnya operasi militer NATO terhadap keamanan Asia Tengah;
dan ketiga, peran serta efektivitas organisasi keamanan regional seperti
Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) dan Organisasi Kerja Sama
Shanghai (SCO) dalam memitigasi risiko-risiko tersebut. Pada intinya, situasi
di Afghanistan bukan hanya masalah internal negara tersebut, melainkan sebuah
ujian berat bagi ketahanan, diplomasi, dan visi strategis seluruh kawasan Asia
Tengah.
1. Afghanistan sebagai Tantangan Geopolitik bagi Kawasan Asia Tengah.
Afghanistan, dalam konteks geopolitik
Asia Tengah, berfungsi sebagai katalisator dan amplifier bagi sejumlah ancaman
dalam yang sudah lama ada, mengubahnya dari potensi menjadi bahaya nyata dan
langsung. Tantangan ini bersifat multidimensi, saling terkait, dan berpotensi
melampaui kapasitas penanganan negara-negara individu di kawasan.
Ancaman paling mendesak dan paling
banyak dibahas adalah penyebaran ideologi Islamisme radikal dari Afghanistan ke
negara-negara Asia Tengah. Kelompok Taliban, meskipun berjanji tidak akan
mengizinkan penggunaan wilayah Afghanistan untuk menyerang negara lain, pada
dasarnya tetap merupakan gerakan yang berlandaskan ideologi ekstremis.
Keberhasilan mereka merebut kekuasaan telah menjadi sumber inspirasi dan
legitimasi yang powerful bagi kelompok-kelompok militan di Asia Tengah.
Organisasi seperti Jamaat Ansarullah dari Tajikistan, Islamic Movement of
Uzbekistan (IMU), dan cabang-cabang lokal Negara Islam (ISIS), yang dikenal
sebagai Islamic State Khorasan Province (ISIS-K), melihat kebangkitan Taliban
sebagai bukti bahwa perjuangan bersenjata dapat berhasil melawan negara-negara
yang mereka anggap sekuler dan korup. Negara-negara seperti Tajikistan, dengan
mayoritas penduduk beretnis Persia dan sejarah perang saudara yang pahit pada
1990-an, serta Uzbekistan, dengan pemerintahan yang sangat sekuler, merasa
sangat rentan. Ancaman ini tidak hanya berupa serangan langsung melintasi
perbatasan, tetapi juga infiltrasi ideologis melalui saluran online dan
jaringan diaspora, yang dapat meradikalisasi pemuda dan mengikis stabilitas
sosial dari dalam. Taliban, dengan kendali mereka atas institusi negara, dapat
secara tidak langsung memberikan ruang aman, pelatihan, dan sumber daya bagi
kelompok-kelompok ini, baik secara sengaja maupun karena ketidakmampuan
mengontrol seluruh wilayah.
Selain ancaman militer dan ideologis,
Afghanistan merupakan episentrum dari perdagangan narkoba global yang memiliki
dampak korosif yang dalam terhadap keamanan dan stabilitas Asia Tengah.
Afghanistan adalah produsen opium dan heroin terbesar di dunia, dan dengan
kembalinya Taliban yang sebelumnya dikenal memerangi narkoba namun kini diduga
terlibat dalam perdagangan ini untuk mengisi kas negara produksi narkoba justru
dilaporkan meningkat. Rute perdagangan utara, yang melintasi perbatasan yang
panjang dan berpori dengan Turkmenistan, Uzbekistan, dan terutama Tajikistan,
merupakan jalur vital bagi penyelundupan heroin menuju Rusia dan Eropa. Arus
narkoba ini bukan hanya masalah kesehatan masyarakat; ini adalah ancaman keamanan
eksistensial. Perdagangan ini membiayai jaringan kriminal terorganisir, yang
sering kali memiliki hubungan simbiosis dengan kelompok militan dan pejabat
korup. Aliran uang yang besar dari narkoba dapat memicu korupsi sistemik di
tubuh aparat penegak hukum dan birokrasi negara-negara Asia Tengah, melemahkan
institusi negara dan merusak kepercayaan publik. Lebih lanjut, konsumsi narkoba
domestik di kawasan ini juga meningkat, menciptakan krisis kesehatan dan sosial
yang membebani ekonomi negara-negara yang sudah rapuh. Dengan demikian,
perdagangan narkoba berfungsi sebagai pendanaan bagi kekerasan sekaligus
sebagai alat yang melumpuhkan kapasitas negara untuk meresponsnya.
Tantangan ketiga adalah krisis
kemanusiaan yang ditimbulkan oleh situasi di Afghanistan. Runtuhnya Republik
Afghanistan telah memicu gelombang pengungsi yang berusaha melarikan diri dari
kekacauan ekonomi dan penindasan rezim Taliban. Sementara sebagian besar
mengalir ke Iran dan Pakistan, terdapat kekhawatiran nyata akan potensi arus
pengungsi ke utara, menuju Asia Tengah. Negara-negara seperti Tajikistan dan
Uzbekistan, dengan ekonomi mereka sendiri yang lemah dan masalah pengangguran
yang tinggi, sangat enggan menanggung beban pengungsi dalam skala besar. Arus
pengungsi dapat menciptakan ketegangan sosial, memicu sentimen anti-pengungsi,
dan berpotensi menjadi alat tekanan politik bagi Taliban atau aktor eksternal
lainnya. Selain itu, ketidakstabilan di Afghanistan mengganggu proyek-proyek
konektivitas regional yang ambisius, seperti inisiatif Belt and Road Road
Initiative (BRI) China, yang memandang Afghanistan sebagai penghubung potensial
antara Asia Tengah dan Asia Selatan. Ketidakpastian keamanan membuat investasi
dan pembangunan infrastruktur menjadi sangat berisiko, sehingga menghambat
prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang bagi seluruh kawasan. Dengan
demikian, tantangan dari Afghanistan adalah sebuah paket lengkap yang mencakup
dimensi keamanan keras (militansi), keamanan lunak (narkoba, pengungsi), dan
ekonomi, yang saling memperkuat satu sama lain dalam sebuah siklus
destabilisasi.
2. Mengakhiri Operasi Militer NATO di Afghanistan dan Konsekuensinya bagi Keamanan Asia Tengah.
Penarikan pasukan NATO yang tergesa-gesa
dan subsequent collapse of the Afghan National Security Forces (ANSF)
menciptakan sebuah vacuum of power yang langsung diisi oleh Taliban. Peristiwa
ini memiliki konsekuensi mendalam dan langsung bagi keamanan Asia Tengah, yang dapat
dirangkum dalam tiga perubahan paradigma utama.
Pertama, hilangnya "penyangga"
intelijen dan kontra-terorisme. Selama dua dekade, kehadiran militer NATO di
Afghanistan, dengan kemampuan pengintaian canggih, pertukaran intelijen, dan
operasi kontra-terorisme, secara tidak langsung memberikan lapisan pengamanan
bagi Asia Tengah. Keberadaan pasukan internasional membatasi ruang gerak
kelompok-kelompok militan di Afghanistan, memutus jaringan pendanaan dan
logistik mereka, dan memberikan peringatan dini kepada negara-negara tetangga
tentang potensi ancaman. Dengan hilangnya mata dan telinga ini, negara-negara
Asia Tengah kini menjadi "buta" terhadap perkembangan di dalam
Afghanistan. Mereka harus mengandalkan intelijen mereka sendiri, yang kemampuannya
terbatas, dan diplomasi langsung dengan Taliban sebuah entitas yang tidak
mereka akui secara resmi untuk memahami ancaman yang mungkin muncul. Kekosongan
intelijen ini meningkatkan kerentanan terhadap serangan mendadak dan
infiltrasi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh serangan lintas batas sporadis
yang telah terjadi antara pasukan Tajikistan dan militan Afghanistan.
Kedua, perubahan dinamika kekuatan
regional. Kepergian NATO telah memicu persaingan pengaruh yang baru di antara
kekuatan-kekuatan eksternal dengan kepentingan di Afghanistan dan Asia Tengah.
Rusia, yang memiliki trauma historis terhadap Afghanistan dan kekhawatiran akan
penyebaran ekstremisme ke "halaman belakang"-nya, muncul sebagai
pemain keamanan utama. Moskow memperkuat pangkalan militernya di Tajikistan dan
Kyrgyzstan, meningkatkan pasokan persenjataan, dan menggunakan platform CSTO
untuk mengkoordinasikan respons regional. China, di sisi lain, terutama
khawatir tentang ancaman terhadap investasi BRI-nya dan potensi penyebaran
ekstremisme ke Xinjiang. Beijing telah mengambil pendekatan yang lebih ekonomis
dan diplomatis, terlibat dengan Taliban sambil mendorong SCO untuk memainkan
peran yang lebih besar. Sementara itu, Amerika Serikat, meskipun telah mundur
secara militer, tetap memiliki kepentingan kontra-terorisme, yang membuatnya
mempertahankan pengaruh melalui sarana diplomatik dan sanksi. Persaingan halus
antara Rusia, China, dan AS ini menciptakan lingkungan yang kompleks bagi
negara-negara Asia Tengah, yang harus melakukan manuver diplomatik yang rumit
untuk mengamankan dukungan keamanan tanpa terlalu memihak salah satu pihak,
sekaligus menjaga kedaulatan mereka.
Ketiga, legitimasi tidak langsung bagi
gerakan oposisi. Keberhasilan Taliban dalam menggulingkan sebuah rezim yang
didukung Barat dilihat oleh banyak kelompok oposisi, baik yang bersenjata
maupun politik, sebagai bukti bahwa pemerintah yang otoriter dan korup dapat
dikalahkan. Hal ini tidak serta merta berarti akan terjadi pemberontakan
bersenjata, tetapi lebih pada penguatan narasi perlawanan terhadap rezim-rezim
kuat di Asia Tengah. Pemerintah-pemerintah di kawasan ini, yang sebagian besar
memerintah dengan tangan besi dan menghadapi ketidakpuasan publik yang
terpendam atas isu-isu seperti kemiskinan, ketimpangan, dan korupsi, kini
menghadapi sebuah contoh nyata tentang bagaimana tekanan rakyat yang dimanfaatkan
oleh kelompok bersenjata dapat menjatuhkan sebuah pemerintahan. Hal ini membuat
mereka semakin represif terhadap oposisi domestik, yang pada gilirannya dapat
memperdalam ketegangan sosial dan berpotensi menciptakan kondisi yang justru
menguntungkan bagi radikalisasi. Dengan kata lain, kepergian NATO dan
kemenangan Taliban telah menggeser lanskap psikologis dan politik di kawasan,
menciptakan rasa kerentanan baru di kalangan elit penguasa Asia Tengah.
3. Peran CSTO dan SCO dalam Memastikan Keselamatan Kawasan Asia Tengah.
Menghadapi badai geopolitik dari
selatan, negara-negara Asia Tengah tidak sepenuhnya sendirian. Mereka
mengandalkan dua organisasi regional utama CSTO yang dipimpin Rusia dan SCO
yang dipimpin bersama Rusia dan China sebagai payung keamanan kolektif. Namun,
efektivitas kedua organisasi ini dalam menanggapi krisis Afghanistan memiliki
kelebihan dan kekurangan yang signifikan.
Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif
(CSTO) adalah aliansi militer yang eksplisit, sering dijuluki "NATO-nya
Rusia." Dalam konteks Afghanistan, peran CSTO paling terlihat. Organisasi
ini telah melakukan sejumlah langkah konkret. Pertama, meningkatkan kesiapan
tempur Pasukan Kolektif Operasi Cepat (CRRF), dengan fokus pada perbatasan
Tajik-Afghan. Kedua, secara teratur mengadakan latihan militer besar-besaran di
dekat perbatasan selatan, seperti latihan "Rubezh" (Perbatasan),
untuk menunjukkan kesiapan dan menguji interoperabilitas. Ketiga, menyediakan
bantuan material dan persenjataan kepada Tajikistan, anggota CSTO yang paling
terbuka. Namun, efektivitas CSTO dibatasi oleh beberapa faktor. Pertama,
terdapat perbedaan kepentingan yang jelas di antara anggotanya. Rusia bersikap
sangat vokal tentang ancaman dari Afghanistan, sementara Kazakhstan dan
Kyrgyzstan, yang letaknya lebih utara, merasa kurang terancam langsung dan
mungkin enggan terlibat dalam konflik di perbatasan Tajikistan. Perpecahan ini
terlihat jelas selama krisis Kazakhstan pada Januari 2022, di mana CSTO untuk
pertama kalinya mengerahkan pasukannya, namun menimbulkan pertanyaan tentang
kesediaannya untuk campur tangan dalam konflik internal. Kedua, kapabilitas
militer negara-negara anggota CSTO, kecuali Rusia, relatif terbatas. Ketiga,
dan yang paling penting, CSTO adalah instrumen kebijakan luar negeri Rusia.
Dominasi Moskow atas organisasi ini berarti bahwa tindakannya akan selalu
selaras dengan kepentingan nasional Rusia, yang mungkin tidak selalu sejalan
dengan kepentingan semua anggota Asia Tengah. Misalnya, Rusia telah melakukan
pendekatan yang lebih pragmatis terhadap Taliban, membuka saluran diplomatik,
sementara Tajikistan secara terbuka menentang dan mengutuk kelompok tersebut.
Sementara itu, Organisasi Kerja Sama
Shanghai (SCO) menawarkan pendekatan yang berbeda. Sebagai organisasi yang
fokusnya lebih luas pada keamanan, ekonomi, dan budaya, SCO tidak dirancang
untuk intervensi militer langsung seperti CSTO. Kekuatannya terletak pada
diplomasi, pembangunan kapasitas, dan kerja sama keamanan non-kinetik. Dalam
menanggapi Afghanistan, SCO telah memposisikan diri sebagai platform yang
memungkinkan untuk dialog. Kelompok Kontak SCO-Afghanistan, meskipun
efektivitasnya terbatas, merupakan salah satu saluran formal bagi keterlibatan
regional dengan kepemimpinan Taliban. SCO mempromosikan kerja sama dalam
memerangkan terorisme, separatism, dan ekstremisme "tiga kekuatan jahat"
yang menjadi perhatian utama serta memerangi perdagangan narkoba. China,
melalui SCO, telah mendorong inisiatif pembangunan ekonomi di Afghanistan,
dengan keyakinan bahwa stabilitas ekonomi adalah prasyarat untuk stabilitas
keamanan. Namun, kelemahan SCO adalah sifatnya yang konsensus-based dan
komitmennya yang kuat terhadap prinsip non-interferensi dalam urusan dalam
negeri. Hal ini membuat SCO sangat lamban dan enggan untuk mengambil tindakan
tegas. Perbedaan kepentingan antara anggota-anggota utamanya terutama
persaingan strategis antara India dan Pakistan, serta dinamika kekuasaan antara
Rusia dan China sering kali mempersulit pencapaian konsensus yang bermakna
tentang kebijakan Afghanistan yang kohesif. SCO lebih merupakan forum untuk
membahas ancaman daripada sebuah aliansi yang mampu menghadapinya secara
operasional.
Secara keseluruhan, CSTO dan SCO
memainkan peran pelengkap, meskipun tidak sempurna, dalam arsitektur keamanan
Asia Tengah. CSTO memberikan kerangka militer yang, meskipun didominasi Rusia,
menawarkan jaring pengaman yang nyata terutama bagi Tajikistan melalui latihan
bersama dan bantuan militer. Di sisi lain, SCO menyediakan platform diplomatik
dan ekonomi yang penting untuk mengelola krisis Afghanistan dalam jangka
panjang, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Afghanistan
sendiri. Namun, kedua organisasi ini tidak dapat sepenuhnya menggantikan
kebutuhan akan tata kelola domestik yang baik, pembangunan ekonomi inklusif,
dan perbatasan yang dikelola dengan baik di negara-negara Asia Tengah.
Ketergantungan yang berlebihan pada struktur keamanan kolektif eksternal justru
dapat mengalihkan perhatian dari akar masalah internal yang membuat kawasan ini
rentan, seperti korupsi, ketimpangan, dan pemerintahan yang represif. Pada
akhirnya, keselamatan Asia Tengah akan bergantung pada kemampuan negara-negara
tersebut untuk memperkuat ketahanan internal mereka sambil secara cerdas
memanfaatkan CSTO untuk jaminan keamanan langsung dan SCO untuk engagement
strategis jangka panjang dengan Kabul.
Kesimpulan.
Afghanistan pasca-NATO tetap menjadi
tantangan geopolitik paling signifikan bagi keamanan dan stabilitas Asia
Tengah. Ancaman yang ditimbulkannya bersifat multidimensi dan saling terkait,
mulai dari kebangkitan dan inspirasi kelompok-kelompok Islamisme radikal,
meluasnya perdagangan narkoba yang merusak institusi negara, hingga potensi
krisis kemanusiaan yang dapat membebani ekonomi dan kohesi sosial. Berakhirnya
operasi militer NATO tidak hanya menciptakan kekosongan keamanan yang diisi
oleh Taliban, tetapi juga menggeser dinamika kekuatan regional, memicu persaingan
pengaruh baru, dan mengikis rasa aman para pemimpin Asia Tengah.
Dalam menghadapi badai ini, organisasi
regional seperti CSTO dan SCO berfungsi sebagai mekanisme mitigasi yang
penting, meskipun memiliki keterbatasan masing-masing. CSTO, di bawah kepemimpinan
Rusia, memberikan respons militer yang terkoordinasi dan meningkatkan
deterrence di perbatasan, tetapi efektivitasnya dibatasi oleh perbedaan
kepentingan antaranggota dan dominasi agenda Rusia. SCO, sebagai platform yang
lebih luas, menawarkan jalur diplomatik dan ekonomi untuk keterlibatan jangka
panjang dengan Afghanistan, tetapi dihambat oleh birokrasinya yang lamban dan
perbedaan kepentingan antara negara-negara anggotanya.
Oleh karena itu, masa depan keamanan
Asia Tengah tidak akan ditentukan semata-mata oleh perkembangan di Afghanistan
atau oleh efektivitas organisasi regional. Faktor penentu yang sesungguhnya
terletak pada kemampuan negara-negara Asia Tengah sendiri untuk membangun
ketahanan domestik. Ini memerlukan pemerintahan yang lebih inklusif dan
akuntabel, pembangunan ekonomi yang mengurangi ketimpangan dan pengangguran
pemuda, serta upaya kontra-radikalisasi yang efektif. Sementara CSTO dan SCO
dapat memberikan bantuan keamanan dan kerangka diplomatik, stabilitas jangka
panjang kawasan ini pada akhirnya harus dibangun dari dalam. Afghanistan akan
terus menjadi tantangan, tetapi juga dapat menjadi katalis bagi Asia Tengah
untuk membangun masa depan yang lebih mandiri, stabil, dan makmur.
.webp)
Posting Komentar untuk " AFGHANISTAN SEBAGAI TANTANGAN GEOPOLITIK BAGI KAWASAN ASIA TENGAH."