Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penandatangan Perjanjian pertahanan Australi Dan Papua New Guinea PNG Oleh Perdana Menteri Anthony Albanese dan James Marape.

 Penandatangan Perjanjian Pertahanan Australi Dan Papua New Guinea PNG Oleh Perdana Menteri Anthony Albanese dan James Marape. 

Menteri Australia Anthony Albanese
dan Perdana Menteri Papua Nugini James Marape.
..

 

 


 

 

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dan Perdana Menteri Papua Nugini James Marape menandatangani Perjanjian Pukpuk di Canberra, menandai babak baru kerja sama pertahanan kedua negara di kawasan Pasifik. Nama "Pukpuk," yang berarti "saling mendukung" atau "teman dekat" dalam bahasa Tok Pisin, lingua franca PNG, sengaja dipilih untuk mencerminkan semangat persahabatan dan kesetaraan yang ingin ditampilkan oleh kedua pemimpin. Namun, di balik retorika hangat tentang kemitraan dan saling menghormati yang mengiringi penandatanganan bersejarah ini, tersembunyi sebuah realitas geopolitik yang kompleks dan penuh ketegangan. Perjanjian ini bukan sekadar pembaruan dari kerja sama lama, melainkan sebuah respons strategis yang terdorong oleh gelombang persaingan kekuatan global yang semakin gencar menghantam pantai-pantai Pasifik. Perjanjian Pukpuk pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk secara institusional mengunci hubungan pertahanan antara Port Moresby dan Canberra di tengah tarik-menarik kepentingan yang dilakukan oleh kekuatan eksternal, terutama Tiongkok. Bagi Australia, perjanjian ini adalah sebuah langkah pre-emptif untuk mengamankan "pagar belakang"-nya, memastikan bahwa negara terdekat dan secara budaya paling terkait dengannya tidak jatuh ke dalam pengaruh strategis Beijing yang semakin meluas. Sementara bagi PM James Marape, ini adalah sebuah kartu tawar yang cerdik dimainkan dalam diplomasi "bersahabat dengan semua", sebuah cara untuk mengamankan bantuan keamanan, investasi, dan pengakuan statusnya sebagai "pemimpin utama Kristen" di kawasan tanpa sepenuhnya mengikat diri pada satu pihak.

 

Konteks historis dari hubungan Australia-PNG memberikan kedalaman strategis yang signifikan terhadap penandatanganan Perjanjian Pukpuk. Ikatan antara kedua negara ini terbentuk dari warisan kolonial, di mana PNG dulunya berada di bawah administrasi Australia sebagai wilayah perwalian PBB hingga merdeka pada tahun 1975. Hubungan ini telah lama dicirikan oleh dinamika patron-klien, dengan Australia sebagai donor dan penyedia bantuan terbesar, sementara PNG sering kali diposisikan sebagai penerima yang terkadang resisten. Hubungan pertahanan sendiri telah diatur oleh Perjanjian Kerjasama Pembangunan Pertahanan (DCP) sejak 1987, yang lebih berfokus pada pelatihan dan bantuan kapasitas. Namun, Perjanjian Pukpuk mewakili sebuah lompatan kualitatif. Ia bergerak melampaui kerangka pelatihan menuju ke arah yang lebih operasional dan strategis. Dalam perjanjian baru ini, dibuka pintu bagi akses yang lebih besar dan lebih mudah bagi Pasukan Pertahanan Australia (ADF) ke wilayah PNG, termasuk untuk menggunakan pelabuhan dan pangkalan udara tertentu, serta memungkinkan kehadiran personel dan aset Australia yang lebih permanen. Perubahan ini mencerminkan sebuah penilaian ulang yang mendesak di Canberra tentang lingkungan keamanannya; ancaman tidak lagi abstrak dan jangka panjang, melainkan nyata dan langsung, yang dipersonifikasikan oleh kesepakatan keamanan Solomon Islands-Tiongkok pada tahun 2022 yang mengirim gelombang kejut di seluruh ibu kota negara-negara Barat.

 

Bagi pemerintahan Albanese, penandatanganan Perjanjian Pukpuk adalah sebuah pilar sentral dalam strategi "Pusat Keluarga Pasifik" (Pacific Family First) yang dicanangkannya, yang bertujuan untuk memulihkan kepercayaan dan kedekatan dengan kawasan setelah periode ketegangan di bawah pemerintahan sebelumnya. Albanese memahami bahwa diplomasi di Pasifik tidak bisa lagi dianggap remeh dan bahwa soft power harus didukung oleh komitmen keamanan yang tegas dan dapat diandalkan. Dalam pandangan Canberra, PNG yang stabil dan berpihak pada kepentingan Australia adalah prasyarat mutlak untuk keamanan nasionalnya sendiri. Letak geografis PNG yang hanya terpaut beberapa kilometer dari daratan Australia utara, menjadikannya sebuah buffer zone sekaligus potential launching pad bagi kekuatan mana pun yang bermusuhan. Oleh karena itu, mengamankan akses dan pengaruh di PNG bukan lagi sekadar kebijakan luar negeri, melainkan sebuah imperatif pertahanan nasional. Perjanjian Pukpuk adalah instrumen untuk memenuhi imperatif tersebut. Ini adalah cara untuk mengintegrasikan PNG lebih dalam ke dalam orbit pertahanan Australia, menciptakan interdependensi yang membuat Port Moresby lebih sulit untuk beralih ke mitra keamanan alternatif di masa depan. Namun, pendekatan Albanese ini juga mengandung risiko; dengan begitu terbuka menjadikan PNG sebagai pusat strategi Pasifiknya, setiap ketidakstabilan politik atau krisis keamanan di dalam PNG sendiri akan secara langsung mempengaruhi perhitungan keamanan Australia, sehingga berpotensi menyeret ADF ke dalam konflik internal yang kompleks.

 

Di sisi lain, bagi Perdana Menteri James Marape, penandatanganan di Canberra adalah sebuah momen diplomasi yang penuh perhitungan. Marape, yang berkuasa dengan janji untuk "mengambil alih PNG" dan memastikan rakyatnya mendapat manfaat lebih besar dari kekayaan sumber daya alamnya, telah dengan terampil memanfaatkan persaingan geopolitik untuk keuntungan negaranya. Dia tidak melihat perjanjian ini sebagai sebuah penyerahan kedaulatan, melainkan sebagai sebuah pertukaran strategis. Sebagai ganti dari akses dan pengaruh yang diberikan kepada Australia, Marape berharap untuk mendapatkan lebih dari sekadar perlengkapan militer. Dia membayangkan investasi yang signifikan dalam infrastruktur, dukungan untuk sektor keamanan dalam negeri yang menghadapi tantangan besar seperti kekacauan sosial dan kriminalitas terorganisir, serta pengakuan atas peran PNG sebagai kekuatan regional utama. Dengan menandatangani Perjanjian Pukpuk, Marape mengirim sinyal yang jelas kepada Tiongkok dan investor lainnya bahwa sementara PNG terbuka untuk bisnis, hubungan keamanan intinya tetap dengan Australia dan sekutu tradisionalnya. Ini memberinya leverage dalam negosiasi ekonomi dengan Beijing, karena dia dapat menunjukkan bahwa dia memiliki alternatif dan tidak akan sepenuhnya bergantung pada satu pihak. Namun, permainan berbahaya ini juga menimbulkan kritik domestik. Oposisi politik dan beberapa kalian masyarakat sipil di PNG mempertanyakan mengapa perjanjian yang begitu penting似乎 dibahas secara tertutup dan mengkhawatirkan implikasinya terhadap kedaulatan bangsa. Mereka melihat bayang-bayang neo-kolonialisme dalam kemudahan akses militer yang diberikan kepada Australia, sebuah kekhawatiran yang akan terus menghantui implementasi perjanjian ini.

 

Dampak paling langsung dari Perjanjian Pukpuk akan dirasakan dalam arsitektur keamanan kawasan Pasifik. Perjanjian ini secara efektif merupakan balasan langsung terhadap kemajuan Tiongkok di kawasan tersebut, khususnya di Solomon Islands. Ini dimaksudkan untuk menjadi sebuah pernyataan yang tegas: bahwa Australia tidak akan tinggal diam menyaksikan erosi pengaruh strategisnya di jantung kawasan Pasifiknya sendiri. Dengan memperdalam ikatan dengan PNG, Australia berharap dapat menciptakan sebuah pusat gravitasi strategis yang akan menarik negara-negara Kepulauan Pasifik lainnya kembali ke dalam orbitnya dan mencegah mereka untuk menandatangani perjanjian keamanan yang serupa dengan Tiongkok. Perjanjian ini juga mengirim pesan kepada Washington bahwa Australia adalah mitra yang bertanggung jawab dan proaktif dalam mengimplementasikan strategi Indo-Pasifik bersama untuk menahan pengaruh Tiongkok. Namun, efeknya mungkin tidak sepenuhnya stabilisasi. Tiongkok pasti akan melihat perjanjian ini sebagai bagian dari upaya untuk "mengelilingi" dan membatasinya, yang berpotensi mendorongnya untuk meningkatkan penawarannya sendiri kepada negara-negara Kepulauan Pasifik yang lebih kecil, sehingga memicu perlombaan pengaruh yang lebih sengit di kawasan yang tradisionalnya menghindari aliansi militer yang ketat. Perlombaan semacam ini berisiko memiliterisasi kawasan Pasifik, mengubahnya dari zona damai menjadi ajang persaingan kekuatan besar, sebuah skenario yang bertentangan dengan kepentingan jangka panjang semua negara kepulauan, termasuk PNG dan Australia.

 

Namun, di balik narasi geopolitik yang megah ini, terdapat tantangan operasional dan politik dalam negeri yang sangat besar yang dapat menghambat implementasi Perjanjian Pukpuk. Di sisi PNG, kemampuan untuk menyerap bantuan dan kerja sama yang ditawarkan terbatas oleh kapasitas institusional, birokrasi yang sering kali tidak efisien, dan masalah korupsi yang kronis. Membangun sebuah batalion membutuhkan lebih dari sekadar senjata dan pelatihan; ia membutuhkan logistik yang andal, dukungan perawatan kesehatan, dan sistem komando yang profesional—semuanya adalah area di mana PNG berjuang. Selain itu, sentimen nasionalis dan kecurigaan terhadap Australia masih hidup di sebagian masyarakat PNG. Setiap insiden, apakah itu pelanggaran disiplin oleh personel ADF atau persepsi bahwa Australia terlalu banyak mencampuri urusan dalam negeri, dapat dengan cepat memicu reaksi publik yang keras dan mengancam keberlanjutan perjanjian. Bagi Australia, tantangannya adalah untuk menyeimbangkan komitmen barunya kepada PNG dengan hubungannya yang sensitif dan penting dengan Indonesia. Setiap peningkatan signifikan dalam kehadiran militer Australia di perbatasan PNG-Indonesia akan dipantau dengan cermat oleh Jakarta, yang sangat sensitif terhadap masalah kedaulatan, terutama dalam konteks provinsi Papua yang bergejolak. Australia harus memastikan bahwa Perjanjian Pukpuk tidak ditafsirkan oleh Indonesia sebagai bagian dari agenda yang bermusuhan atau yang mendukung gerakan separatis di Papua. Menjaga kepercayaan kedua tetangga terdekatnya secara simultan akan menjadi ujian yang sangat berat bagi diplomasi Australia.

 

Kesimpulannya, penandatanganan Perjanjian Pukpuk oleh Perdana Menteri Anthony Albanese dan James Marape di Canberra memang menandai sebuah babak baru yang penting dalam hubungan bilateral dan dinamika keamanan kawasan Pasifik. Ini adalah sebuah dokumen yang lahir dari kebutuhan strategis yang mendesak, dibingkai dalam bahasa persahabatan dan saling mendukung. Bagi Australia, ini adalah langkah penting untuk mengkonsolidasikan pengaruhnya dan mengamankan lingkungan langsungnya di tengah persaingan strategis dengan Tiongkok. Bagi PNG di bawah kepemimpinan James Marape, ini adalah sebuah langkah strategis untuk memanfaatkan posisi geostrategisnya untuk mendapatkan keuntungan keamanan dan ekonomi, sekaligus menegaskan otonomi dalam menentukan mitra luar negerinya. Namun, babak baru ini bukannya tanpa risiko. Keberhasilan perjanjian ini tidak akan diukur oleh retorika di Canberra, tetapi oleh kemampuannya untuk memberikan keamanan yang nyata bagi warga PNG dan stabilitas yang langgeng bagi kawasan, tanpa memicu perlombaan senjata baru atau mengikis kedaulatan yang telah lama diperjuangkan. Perjanjian Pukpuk pada akhirnya akan diuji bukan dalam latihan militer bersama, tetapi dalam laboratorium yang kompleks dari politik dalam negeri PNG, dalam persaingan geopolitik yang tak henti-hentinya di Pasifik, dan dalam kemampuan kedua negara untuk mentransformasikan kata-kata "saling mendukung" menjadi sebuah kemitraan yang benar-benar setara, menghormati, dan menguntungkan bagi kedua belah pihak serta untuk perdamaian dan stabilitas kawasan Pasifik secara keseluruhan.

 

Posting Komentar untuk "Penandatangan Perjanjian pertahanan Australi Dan Papua New Guinea PNG Oleh Perdana Menteri Anthony Albanese dan James Marape. "