PERJANJIAN PERTAHANAN AUSTRALIA DENGAN PAPUA NEW GUINEA PNG PICU KEKAHWATIRAN SOAL BOUGAINVILLE DAN PAPUA BARAT.
Perjanjian Pertahanan Australi Dengan Papua New Guinea PNG Picu Kekawahtiran Soal Bougainville dan Papua Barat.
Perjanjian Pertahanan antara
Australia dan Papua Nugini (PNG) yang dinamai Perjanjian Pukpuk telah
menimbulkan kekhawatiran khusus terkait wilayah Bougainville dan Papua Barat.
Pakta ini mengamanatkan kedua negara untuk saling membela jika salah satu diserang
dan membuka jalur bagi warga PNG bergabung dengan militer Australia, serta
memperkuat kekuatan pertahanan PNG. Namun, ada kekhawatiran bahwa perjanjian
ini bisa memperumit ketegangan regional, khususnya di Bougainville yang sedang
berproses menuju kemerdekaan serta situasi sensitif di Papua Barat, yang juga
menjadi wilayah berkonflik dan mendapat perhatian geopolitik.
Isi dan Dampak Perjanjian Pertahanan Australia-PNG.
Perjanjian Pukpuk yang
ditandatangani pada Oktober 2025 adalah pakta pertahanan pertama antara
Australia dan PNG dalam 70 tahun. Perjanjian ini mengatur pertahanan bersama
dengan kewajiban saling membantu menghadapi ancaman bersenjata, serta program
kerja sama militer yang memungkinkan 10.000 warga PNG bertugas di Angkatan
Pertahanan Australia. PNG juga berupaya meningkatkan kekuatan militernya
menjadi 7.000 personel aktif dan 3.000 cadangan sukarelawan. Pemerintah PNG
menegaskan bahwa perjanjian ini bukan didasari oleh geopolitik atau tekanan
kekuatan besar seperti China, tapi lebih pada keamanan bersama berdasarkan
geografi dan sejarah wilayah mereka.
Kekhawatiran soal Bougainville dan Papua Barat.
Kekhawatiran muncul karena
Bougainville, yang merupakan bagian dari PNG, sedang menuju referendum
kemerdekaan dan memiliki dinamika politik yang kompleks. Perjanjian militer ini
bisa berdampak pada proses politik dan keamanan di Bougainville karena adanya
campur tangan pertahanan bersama yang bisa memicu ketegangan. Sementara itu,
terkait Papua Barat, meskipun merupakan wilayah Indonesia, perhatian muncul
dari pengaruh keamanan regional yang melibatkan Australia dan PNG. Ketegangan
di Papua Barat dan isu kemerdekaan yang terus berlangsung sensitif bagi
Indonesia dan negara-negara tetangga, sehingga perjanjian ini juga menciptakan
spekulasi tentang bagaimana Australia dan PNG akan menangani hubungan keamanan
dan politik di kawasan tersebut.
Reaksi dan Perspektif.
Pemimpin PNG menegaskan
perjanjian ini adalah bentuk kerjasama pertahanan tradisional, bukan bagian
dari strategi geopolitik yang lebih luas. Di sisi lain, ada kritik dan
kekhawatiran dari beberapa pihak, termasuk mantan pejabat militer PNG, yang
khawatir bahwa keterlibatan militer Australia dapat mencampuri urusan internal
PNG, khususnya di daerah-daerah rawan seperti Bougainville. Pemerintah
Australia berargumen bahwa pakta ini penting untuk menjaga stabilitas dan
keamanan kawasan Pasifik dari pengaruh kekuatan besar asing seperti China.
Dengan demikian, Perjanjian
Pertahanan Australia dan PNG membuka peluang kerjasama militer yang lebih erat,
tetapi juga memicu kekhawatiran tentang implikasinya terhadap situasi politik
dan keamanan di Bougainville dan Papua Barat yang sensitif. Ke depan, bagaimana
kedua negara mengelola perjanjian ini terhadap dinamika lokal dan regional akan
menjadi fokus penting.
Bagimana reaksi pemerintah bougainville terhadap perjanjian pukpuk?
Reaksi pemerintah
Bougainville terhadap Perjanjian Pukpuk antara Australia dan Papua Nugini (PNG)
cenderung skeptis dan khawatir. Presiden Bougainville, Ismael Toroama, secara
khusus menilai bahwa pernyataan dukungan Australia kepada pemerintah PNG dalam
isu Bougainville mengancam netralitas Australia dan mengganggu hak Bougainville
untuk menentukan nasib sendiri. Ia mengutip peran Australia yang melatih dan
mempersenjatai Pasukan Pertahanan PNG selama perang saudara Bougainville
(1988-1998) sebagai bukti campur tangan yang negatif terhadap perjuangan
kemerdekaan mereka. Tindakan ini dilihat sebagai upaya untuk mengacaukan hak
kemerdekaan Bougainville, sehingga menimbulkan ketegangan dan kekhawatiran di
kalangan pemimpinnya.
Selain itu, adanya
perjanjian pertahanan yang sangat erat antara Australia dan PNG dianggap bisa
memperumit proses kemerdekaan Bougainville yang telah didukung melalui
referendum pada tahun 2019. Pemerintah PNG sendiri diindikasikan agak mundur
dalam mendukung kemerdekaan Bougainville, sementara Australia menunjukkan
dukungan kuat kepada PNG dalam hal ini, sehingga mempertegas perasaan
ketidakadilan di Bougainville. Secara umum, pemerintahan Bougainville melihat
Perjanjian Pukpuk sebagai hal yang dapat memperkuat posisi PNG dan Australia
secara militer, tetapi sekaligus menimbulkan ketidakpastian dan kekhawatiran
tentang masa depan politik dan keamanan wilayah otonom mereka.
Dampak perjanjian pupkpuk terhadap proses kemerdekaan Bougainville.
Perjanjian Pukpuk antara
Australia dan Papua Nugini (PNG) berpotensi berdampak signifikan pada proses
kemerdekaan Bougainville, yang telah melalui referendum pada 2019 dengan hasil
mayoritas memilih merdeka dari PNG. Beberapa dampak utama adalah sebagai
berikut:
Memperkuat Posisi Papua Nugini
Perjanjian pertahanan ini
memperkuat kemampuan militer PNG untuk menjaga kedaulatannya atas wilayah yang
disengketakan, termasuk Bougainville. Hal ini berpotensi memperlambat atau
menghambat proses kemerdekaan yang diusung oleh Bougainville karena PNG kini
mendapat dukungan militer yang kuat dari Australia. Peningkatan personel dan
kemampuan militer PNG dapat menjadi alat untuk mempertahankan wilayah yang kaya
sumber daya tersebut, terutama tambang Panguna yang sangat penting bagi ekonomi
PNG.
Menimbulkan Ketegangan Politik dan Keamanan.
Dengan Perjanjian Pukpuk,
konflik lama yang pernah memicu perang saudara di Bougainville berpotensi
muncul kembali jika proses kemerdekaan tidak dikelola dengan baik. Penambahan
kekuatan militer PNG yang didukung Australia dapat memperpanjang ketegangan
keamanan dan politik, khususnya jika pemerintah PNG bersikukuh menolak
kemerdekaan penuh Bougainville. Ini dapat membahayakan proses perdamaian dan
rekonsiliasi yang telah dibangun sejak penandatanganan Perjanjian Damai Bougainville
(BPA).
Mempersulit Negosiasi Kemerdekaan.
Hasil referendum kemerdekaan
2019 bersifat tidak mengikat dan perlu mendapat persetujuan parlemen PNG.
Dengan Perjanjian Pukpuk, posisi negosiasi kemerdekaan bisa menjadi lebih rumit
karena PNG semakin kuat, baik dari sisi politik maupun militer. Ini potensial
menunda atau bahkan menggagalkan sekaligus proses menuju Bougainville sebagai
negara merdeka yang diinginkan oleh mayoritas penduduknya.
Secara keseluruhan,
Perjanjian Pukpuk dipandang sebagai kemajuan hubungan pertahanan Australia-PNG,
namun juga sebagai faktor yang menimbulkan ketidakpastian besar dan tantangan
berat dalam proses kemerdekaan Bougainville yang sudah berlangsung lama dan
sensitif.Perjanjian Pukpuk antara Australia dan Papua Nugini (PNG) berpotensi
memperkuat posisi militer dan politik PNG dalam mengelola wilayah Bougainville
yang selama ini berproses menuju kemerdekaan. Dengan peningkatan personel
militer PNG yang didukung oleh Australia, PNG menjadi lebih mampu mengamankan
wilayah tersebut dan ini dapat memperlambat atau menghambat proses kemerdekaan
Bougainville. Selain itu, perjanjian ini bisa memunculkan ketegangan politik
dan keamanan baru yang mengancam perdamaian dan rekonsiliasi yang telah
dibangun pascaperang saudara Bougainville 1988-1998. Proses negosiasi
kemerdekaan yang sudah berjalan juga menjadi lebih kompleks karena hasil
referendum kemerdekaan Bougainville masih membutuhkan persetujuan parlemen PNG,
sementara dukungan militer dari Australia kepada PNG semakin menguat. Secara
umum, Perjanjian Pukpuk menimbulkan ketidakpastian dan tantangan bagi
kelanjutan proses kemerdekaan Bougainville.
Analisa Perjanjian Pertahanan Australia dengan Papua Nugini Picu Kekhawatiran soal Bougainville dan Papua Barat.
Perjanjian
Keselamatan (Security Agreement) antara Australia dan Papua Nugini (PNG), yang
ditandatangani pada Desember 2023 dan mulai berlaku pada awal 2024, telah
menjadi titik tolak signifikan dalam geopolitik kawasan Pasifik Selatan. Di
permukaan, perjanjian ini digambarkan sebagai upaya untuk memperdalam kerja
sama bilateral, mempromosikan stabilitas regional, dan meningkatkan kapasitas
pertahanan PNG. Namun, di balik retorika diplomatik tersebut, tersembunyi
lapisan-lapisan kompleks yang memicu kecemasan mendalam, khususnya terkait masa
depan wilayah Bougainville yang sedang berjuang untuk menentukan nasibnya
sendiri dan provinsi Papua Barat di Indonesia yang telah lama menjadi daerah
konflik. Analisis mendalam terhadap perjanjian ini mengungkap sebuah paradoks:
sebuah kesepakatan yang dirancang untuk menciptakan stabilitas justru
berpotensi menjadi katalisator ketidakstabilan dengan cara mengganggu
keseimbangan politik, keamanan, dan sosial yang rapuh di kawasan ini.
Latar
belakang dari perjanjian ini tidak dapat dipisahkan dari persaingan strategis
yang semakin meningkat di kawasan Indo-Pasifik, dengan Australia merasa semakin
waspada terhadap meluasnya pengaruh Tiongkok. Ketakutan akan "pintu
belakang" Tiongkok ke PNG, yang secara geografis sangat dekat dengan
Australia, memicu rasa urgensi di Canberra untuk mengukuhkan kembali
pengaruhnya. Perjanjian ini, yang memungkinkan akses yang lebih besar bagi
Pasukan Pertahanan Australia (ADF) ke pelabuhan dan bandara PNG serta
memfasilitasi pelatihan dan latihan gabungan, dilihat sebagai upaya preemptif
untuk membendung pengaruh Beijing. Bagi PNG, perjanjian ini menawarkan suntikan
dana, pelatihan, dan perlengkapan yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat
institusi pertahanan dan keamanannya yang seringkali kekurangan sumber daya.
Namun, kerangka kerja sama yang tampaknya saling menguntungkan ini mengabaikan
dinamika internal yang sensitif di dalam PNG sendiri dan di kawasan yang lebih
luas. Persepsi bahwa perjanjian ini lebih ditujukan untuk melayani kepentingan
keamanan Australia daripada kepentingan pembangunan jangka panjang PNG telah
menimbulkan kecurigaan di antara berbagai kelompok masyarakat sipil dan
politisi di PNG. Kekhawatiran utama adalah bahwa Port Moresby mungkin telah
mengorbankan sebagian dari kedaulatannya dalam pertukaran untuk janji keamanan,
sebuah keputusan yang memiliki konsekuensi yang jauh melampaui hubungan
bilateral.
Dampak
paling langsung dan potensial paling eksplosif dari perjanjian ini adalah
terhadap proses perdamaian dan penentuan nasib sendiri Bougainville. Wilayah
otonom ini telah melalui perjalanan panjang dan menyakitkan menuju penentuan
nasib sendiri setelah perang saudara yang brutal (1988-1998) yang menewaskan
sekitar 20.000 orang. Referendum yang dilaksanakan pada tahun 2019 menunjukkan
hasil yang hampir bulat, dengan 97.7% pemilih memilih untuk kemerdekaan dari
PNG. Sejak itu, pemerintah Bougainville dan pemerintah nasional PNG terlibat
dalam pembicaraan yang alot dan penuh ketegangan mengenai implementasi hasil
referendum tersebut. Kehadiran perjanjian keamanan yang diperkuat antara
Australia dan PNG telah menyuntikkan variabel baru yang sangat disalahpahami ke
dalam persamaan politik yang sudah rumit ini. Pemerintah Bougainville dan para
pemimpinnya telah menyatakan kekhawatiran yang sangat besar bahwa peningkatan
kemampuan militer PNG, yang didukung oleh Australia, dapat digunakan untuk
menekan atau bahkan menindas setiap gerakan menuju kemerdekaan jika pembicaraan
gagal. Ingatan kolektif akan blokade yang diterapkan oleh pemerintah PNG selama
konflik Bougainville, yang menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah, masih
sangat hidup. Kekhawatirannya adalah bahwa perjanjian ini, secara tidak
langsung, memberikan "lampu hijau" atau setidaknya meningkatkan
kapasitas bagi Port Moresby untuk mengambil pendekatan yang lebih keras
terhadap Bougainville.
Lebih
jauh, perjanjian ini dilihat oleh banyak pengamat di Bougainville sebagai bukti
bahwa Australia, sebagai sekutu utama PNG, akan selalu memprioritaskan
integritas teritorial PNG atas aspirasi rakyat Bougainville. Persepsi ini
merusak legitimasi proses perdamaian dan memperdalam ketidakpercayaan terhadap
kedua pemerintah, Port Moresby dan Canberra. Jika pemerintah PNG merasa
didukung secara militer oleh kekuatan regional terkemuka, daya tawar mereka
dalam negosiasi dengan Bougainville akan meningkat secara signifikan, sehingga
berpotensi mendorong mereka untuk menawarkan otonomi yang lebih longgar
daripada kemerdekaan penuh. Skenario semacam ini berisiko tinggi. Setiap upaya
untuk menunda-nunda atau menolak hasil referendum dapat dengan mudah memicu
kembali ketegangan dan mungkin bahkan kembalinya kekerasan. Dalam konteks ini,
Perjanjian Keselamatan bukannya menjadi alat stabilisasi, melainkan menjadi
sumber instabilitas yang potensial, mengancam untuk membatalkan puluhan tahun
upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Bougainville. Ketegangan ini bukan hanya
hipotesis; para pemimpin Bougainville telah secara terbuka meminta penjelasan
dan jaminan bahwa perjanjian tersebut tidak akan digunakan melawan mereka,
sebuah permintaan yang hingga saat ini belum sepenuhnya terjawab.
Sementara
itu, di panggung regional yang lebih luas, perjanjian Australia-PNG memiliki
implikasi yang sangat serius bagi situasi di Papua Barat, provinsi Indonesia
yang berbatasan langsung dengan PNG. Konflik bersenjata yang berlarut-larut
antara pasukan keamanan Indonesia dan kelompok separatis Organisasi Papua
Merdeka (OPM), serta pelanggaran HAM yang dilaporkan secara luas, telah
menjadikan Papua Barat sebagai titik nyeri dalam hubungan Indonesia-Australia
selama beberapa dekade. Perjanjian keamanan yang baru ini telah dibaca dengan
cermat oleh berbagai pihak di Jakarta, Port Moresby, dan di antara
kelompok-kelompok separatis Papua. Bagi pemerintah Indonesia, perjanjian ini
pada awalnya bisa dilihat sebagai perkembangan yang positif, karena memperkuat
kemampuan negara tetangga untuk mengamankan perbatasannya yang poros, sehingga
berpotensi mencegah penyelundupan senjata atau pergerakan militan dari PNG ke
Papua Barat. Namun, terdapat kekhawatiran yang mendalam di Jakarta bahwa
peningkatan kehadiran militer Australia di PNG dapat, sengaja atau tidak,
menciptakan ruang bagi aktivisme pro-kemerdekaan Papua Barat. Indonesia sangat
sensitif terhadap segala bentuk campur tangan asing dalam urusan dalam
negerinya, terutama yang terkait dengan kedaulatan atas Papua Barat.
Bagi
kelompok separatis dan masyarakat sipil pro-kemerdekaan di Papua Barat,
perjanjian ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, hal ini memperkuat
kerja sama keamanan antara Indonesia dan sekutu utamanya, Australia, yang
dianggap sebagai bagian dari establishment regional yang mendukung status quo.
Di sisi lain, beberapa mungkin melihatnya sebagai peluang untuk
menginternasionalisasikan perjuangan mereka, dengan berargumen bahwa
meningkatnya fokus militer Australia di kawasan tersebut akan menyoroti konflik
di Papua Barat. Kekhawatiran terbesar, bagaimanapun, adalah potensi
"penyebaran" atau "operasionalisasi" tidak langsung dari
perjanjian ini. Jika konflik di Papua Barat meningkat dan menyebabkan gelombang
pengungsi yang melintasi perbatasan ke PNG, bagaimana Australia dan PNG akan
menanggapinya di bawah kerangka perjanjian baru ini? Apakah ADF akan membantu
PNG dalam mengelola pengungsi, atau dalam operasi penegakan hukum perbatasan
yang bisa dilihat sebagai membantu upaya keamanan Indonesia? Setiap skenario
berpotensi menjerat Australia lebih dalam ke dalam konflik Papua Barat, sebuah
situasi yang dengan hati-hati coba dihindari oleh Canberra selama ini. Persepsi
bahwa Australia sedang membangun kapasitas militer di perbatasan Papua Barat
dapat memicu sentimen anti-Indonesia dan anti-Australia, yang pada akhirnya
memperumit upaya perdamaian dan meningkatkan ketegangan di daerah perbatasan
yang sudah tidak stabil.
Dinamika
segitiga antara Australia, PNG, dan Indonesia menjadi semakin rumit dengan
adanya perjanjian ini. Australia harus berjalan di atas tali yang sangat tipis,
menyeimbangkan komitmen keamanan barunya kepada PNG dengan hubungan strategis
yang sangat penting dengan Indonesia, kekuatan ekonomi dan militer terbesar di
Asia Tenggara. Setiap langkah yang dianggap oleh Jakarta sebagai dukungan,
bahkan secara tidak langsung, terhadap gerakan separatis di Papua Barat akan
menjadi bom politik yang dapat merusak hubungan bilateral. Pada saat yang sama,
kegagalan untuk mempertimbangkan dengan cermat dampak perjanjian terhadap
Bougainville dapat mendorong PNG kembali ke dalam konflik internal, yang pada
akhirnya akan merugikan kepentingan Australia sendiri dalam memiliki lingkungan
yang stabil. Pemerintah Australia, dengan demikian, menemukan dirinya terjepit
antara kewajiban bilateralnya dan tanggung jawab regionalnya yang lebih luas
untuk mempromosikan stabilitas dan menghormati hak-hak menentukan nasib sendiri.
Di
luar politik tingkat tinggi, perjanjian ini juga mengabaikan akar penyebab
utama ketidakstabilan di kawasan ini: masalah pembangunan, ketimpangan, dan
tuntutan otonomi yang tidak terpenuhi. Baik Bougainville maupun Papua Barat
memiliki keluhan historis yang mendalam tentang eksploitasi sumber daya mereka
tanpa manfaat yang adil, marginalisasi budaya dan politik, serta pelanggaran
HAM oleh negara. Pendekatan keamanan yang diabadikan dalam perjanjian
Australia-PNG berisiko mengobati gejala, bukan penyebabnya. Dengan
memprioritaskan kerja sama militer, perjanjian ini secara tidak sengaja dapat
meminggirkan pendekatan pembangunan dan diplomasi yang lebih holistik yang
diperlukan untuk mengatasi penyebab mendasar dari konflik tersebut. Alih-alih
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk dialog dan rekonsiliasi, pendekatan
yang berpusat pada militer dapat semakin mempolarisasi posisi dan memperkuat
narasi tentang penindasan negara. Yang dibutuhkan Bougainville dan Papua Barat
adalah investasi dalam infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan
ekonomi, serta ruang politik untuk mewujudkan aspirasi mereka. Jika perjanjian
keamanan ini mengalihkan perhatian dan sumber daya dari kebutuhan mendesak ini,
maka perjanjian ini pada akhirnya akan menjadi kontra-produktif.
Kesimpulannya.
Perjanjian Keselamatan antara Australia dan Papua Nugini jauh lebih dari
sekadar pengaturan teknis untuk kerja sama pertahanan. Ini adalah dokumen
geopolitik yang memiliki dampak strategis yang dalam dan berpotensi mengganggu
bagi masa depan Bougainville dan keamanan regional di sekitar Papua Barat.
Dengan berusaha mengamankan kepentingannya sendiri terhadap persaingan dengan
Tiongkok, Australia mungkin telah menabur benih ketidakstabilan baru. Potensi
perjanjian untuk memberdayakan pemerintah PNG untuk mengambil pendekatan yang
lebih konfrontatif terhadap Bougainville, serta kemampuannya untuk menjerat
Australia lebih dalam dalam konflik Papua Barat yang kompleks, merupakan risiko
nyata yang tidak boleh diabaikan. Agar perjanjian ini dapat menjadi kekuatan
untuk stabilitas dan bukan konflik, diperlukan transparansi yang lebih besar,
keterlibatan yang tulus dengan semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah
Bougainville dan perwakilan masyarakat sipil dan komitmen yang seimbang untuk
membangun keamanan manusia, bukan hanya keamanan militer. Masa depan kawasan
yang damai dan sejahtera bergantung pada kemampuan Australia dan PNG untuk
menavigasi ranau diplomatik yang rumit ini dengan kebijaksanaan, kepekaan, dan
komitmen yang teguh terhadap prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri dan hak
asasi manusia, bukan hanya pada kepentingan keamanan sempit jangka pendek.
Tanpa pendekatan yang lebih bijaksana dan inklusif, perjanjian yang dimaksudkan
untuk membangun tembok pertahanan justru berisiko menyalakan api pemberontakan
dan ketidakstabilan baru.
.jpeg)
Posting Komentar untuk " PERJANJIAN PERTAHANAN AUSTRALIA DENGAN PAPUA NEW GUINEA PNG PICU KEKAHWATIRAN SOAL BOUGAINVILLE DAN PAPUA BARAT."