Solusi untuk Masalah Air di Asia Tengah: Menganalisis Sikap Negara-negara dan Mencari Jalan Keluar.
SOLUSI UNTUK MASALAH AIR DI ASIA TENGAH: MENGANALISIS SIKAP NEGARA-NEGARA DAN MENCARI JALAN KELUAR.
Mengidentifikasi sikap negara-negara Asia Tengah terhadap distribusi
sumber daya air di kawasan Asia
Teng, untuk menemukan cara yang mungkin untuk
mengatasi masalah ini.
Pendahuluan.
Masalah air di Asia
Tengah bukan sekadar isu lingkungan, melainkan persoalan kompleks yang
menyangkut aspek geopolitik, ekonomi, dan keamanan nasional bagi Kazakhstan,
Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Akar masalahnya terletak
pada warisan sistem pengelolaan air Soviet yang terpusat, di mana sumber daya
air dari dua sungai utama, Amu Darya dan Syr Darya, dibagikan secara sepihak:
negara-negara hulu (Kyrgyzstan dan Tajikistan) menyimpan air di waduk mereka
untuk pembangkit listrik tenaga air di musim dingin, sementara negara-negara
hilir (Kazakhstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan) membutuhkannya untuk irigasi
pertanian kapas dan gandum di musim panas. Pasca kemerdekaan, kerangka kerja
sama ini runtuh, memicu ketegangan yang berlarut-larut. Dengan tekanan
perubahan iklim yang semakin memperparah kelangkaan air (Wang, 2022), menemukan
solusi berkelanjutan menjadi sebuah keharusan. Esai ini akan menganalisis sikap
dan kepentingan masing-masing negara dalam sengketa distribusi air, untuk kemudian
mengidentifikasi cara-cara yang mungkin untuk mengatasi masalah krusial ini.
Sikap Negara-Negara Asia Tengah terhadap Distribusi Sumber Daya Air.
Sikap negara-negara
kawasan ini terhadap masalah air sangat ditentukan oleh posisi geografisnya
(hulu atau hilir) dan kebutuhan ekonominya, menciptakan polarisasi yang jelas.
Di pihak negara hulu,
Kyrgyzstan dan Tajikistan, air dipandang sebagai sumber daya strategis untuk
kemandirian energi. Kedua negara ini kaya dengan potensi tenaga air, namun
miskin sumber daya bahan bakar fosil. Mereka berargumen bahwa selama era
Soviet, mereka memberikan air secara gratis ke negara hilir dan sebagai
kompensasi menerima pasokan gas, batu bara, dan minyak. Setelah Uni Soviet
bubar, skema kompensasi ini hilang (Paramonov, 2010). Akibatnya, Bishkek dan
Dushanbe mengadopsi kebijakan "air untuk energi," di mana mereka akan
melepas air untuk irigasi musim panas hanya jika mendapat imbalan energi atau
pembayaran tunai dari negara hilir. Ambisi besar Tajikistan dengan proyek
Bendungan Rogun dan Kyrgyzstan dengan Bendungan Kambarata adalah manifestasi
dari sikap ini. Proyek-proyek ini tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan domestik tetapi juga untuk mengekspor listrik, sehingga meningkatkan
posisi tawar dan pendapatan nasional (Likhacheva, 2014). Namun, sikap ini
dilihat sebagai ancaman eksistensial oleh negara hilir.
Di sisi negara hilir,
Uzbekistan, Kazakhstan, dan Turkmenistan, air adalah fondasi ketahanan pangan
dan stabilitas sosial. Ekonomi mereka, khususnya sektor pertanian, sangat
bergantung pada irigasi intensif. Uzbekistan, sebagai konsumen air terbesar di
kawasan ini, secara historis paling vokal menentang pembangunan bendungan besar
di hulu. Tashkent khawatir bahwa proyek seperti Rogun akan memberikan kendali
penuh atas aliran air kepada Tajikistan, yang dapat digunakan sebagai alat
tekanan politik dan mengganggu pasokan air musim panas yang vital untuk kapas
dan gandum (Sidorov, 2003). Turkmenistan, dengan kebijakan isolasionis dan
ketergantungannya pada pertanian kapas yang haus air, memiliki keprihatinan
serupa. Kazakhstan, meskipun sedikit lebih moderat karena memiliki sumber daya
energi yang lebih beragam, tetap bergantung pada air dari Sungai Syr Darya
untuk mengairi wilayah selatannya dan mengisi Danau Balkhash, yang menghadapi
risiko ekologis yang serius (International Crisis Group, 2014). Bagi
negara-negara hilir, setiap pembangunan infrastruktur baru di hulu yang
mengubah rezim aliran air dianggap sebagai ancaman langsung terhadap keamanan
nasional mereka.
Hambatan dan Tantangan Menuju Solusi.
Mencari solusi untuk
masalah air di Asia Tengah terhambat oleh sejumlah faktor mendalam yang
bersifat politik, kelembagaan, dan teknis.
1. Ketiadaan Kepercayaan dan Politik Nasionalis:
Tingkat kepercayaan yang rendah antara negara-negara, diperparah oleh
perselisihan perbatasan dan persaingan geopolitik, menjadi penghalang terbesar.
Isu air sering kali dipolitisasi secara internal, di mana pemerintah
menggunakan retorika konfrontatif untuk mengalihkan perhatian dari masalah
domestik (Rogozhina, 2014). Perubahan kepemimpinan di Uzbekistan pasca Karimov
membawa angin segar dengan pendekatan yang lebih kooperatif, tetapi warisan
ketidakpercayaan masih kuat.
2. Kerangka Kelembagaan Regional yang Lemah:
Lembaga warisan Soviet seperti Komite Koordinasi Antarnegara untuk Sumber Daya
Air (ICWC) terbukti tidak efektif. Lembaga ini kekurangan kewenangan yang
mengikat dan mekanisme penegakan hukum. Keputusannya sering diabaikan oleh
negara-negara anggota jika dianggap tidak menguntungkan (Asamudinov). Dengan
tidak adanya otoritas pengelolaan sungai bersama yang kuat dan netral, setiap
kesepakatan sulit untuk diimplementasikan dan dipantau.
3. Masalah Pendanaan dan Teknologi: Beralih ke
sistem pengelolaan air yang lebih efisien membutuhkan investasi besar.
Modernisasi jaringan irigasi yang sudah tua dan boros di negara hilir, serta
pembangunan pembangkit listrik tenaga air yang ramah lingkungan di negara hulu,
memerlukan dana miliaran dolar. Negara-negara miskin di kawasan ini kesulitan
untuk mengumpulkan dana tersebut tanpa bantuan eksternal.
4. Tekanan Perubahan Iklim dan Masalah Ekologi:
Faktor eksternal ini memperburuk konflik. Mencairnya gletser di Pegunungan
Pamir dan Tien Shan, yang merupakan "menara air" Asia Tengah,
mengancam ketersediaan air jangka panjang untuk semua pihak (Wang, 2022).
Ditambah dengan praktik pertanian yang tidak efisien, seperti penanaman kapas
yang haus air, masalah ini dengan cepat menguras sumber daya yang sudah langka,
seperti yang tragis terlihat pada menyusutnya Laut Aral.
Cara-Cara yang Mungkin untuk Mengatasi Masalah.
Meskipun kompleks,
masalah air di Asia Tengah bukan tidak terpecahkan. Beberapa solusi realistis
dapat diupayakan melalui pendekatan bertahap dan komprehensif.
1. Pendekatan "Air-Energi-Pangan
Nexus": Solusi yang paling realistis adalah dengan beralih dari paradigma
"air untuk energi" ke pendekatan terintegrasi yang memandang air,
energi, dan ketahanan pangan sebagai satu sistem yang saling terkait. Daripada
sekadar membayar untuk air, negara hilir dapat menawarkan paket kompensasi yang
mencakup pasokan listrik (dari pembangkit listrik tenaga batu bara atau gas
mereka sendiri), bahan bakar, atau bahkan makanan, kepada negara hulu selama musim
dingin. Sebagai gantinya, negara hulu menjamin pelepasan air yang teratur untuk
irigasi musim panas. Skema barter semacam ini dapat menciptakan saling
ketergantungan yang positif dan saling menguntungkan (Haidar, 2023).
2. Memperkuat dan Mereformasi Kelembagaan
Regional: Lembaga regional yang ada, seperti ICWC, perlu diberi mandat yang
lebih kuat dan didanai dengan lebih baik. Sebuah badan pengawas independen yang
terdiri dari para ahli dari semua negara, dengan akses untuk memantau
penggunaan air, dapat membantu membangun transparansi dan kepercayaan. ASEAN
bisa menjadi model bagaimana negara-negara dengan sengketa teritorial mampu
bekerja sama dalam kerangka kelembagaan yang stabil.
3. Investasi dalam Efisiensi dan Teknologi
Modern: Prioritas utama harus diberikan pada modernisasi infrastruktur air.
Negara-negara hilir perlu berinvestasi besar-besaran dalam irigasi tetap dan
saluran berlapis untuk mengurangi kebocoran yang bisa mencapai 50%. Sementara
itu, negara hulu dapat mengembangkan bendungan run-of-the-river yang dampak
ekologisnya lebih kecil dibandingkan waduk besar. Mitra internasional seperti
Bank Dunia, ADB, dan Uni Eropa dapat memainkan peran kunci dalam menyediakan
pendanaan dan transfer teknologi untuk proyek-proyek semacam ini.
4. Diversifikasi Ekonomi dan Reformasi
Pertanian: Ketergantungan berlebihan pada tanaman haus air seperti kapas adalah
masalah mendasar. Negara-negara hilir perlu mendorong diversifikasi pertanian
menuju tanaman yang bernilai ekonomi tinggi namun tidak memerlukan banyak air.
Reformasi kebijakan pertanian, termasuk penghapusan subsidi untuk tanaman yang
tidak berkelanjutan, sangat penting untuk mengurangi tekanan pada sumber daya
air.
5. Melibatkan Aktor Eksternal sebagai
Fasilitator, Bukan Pemain: Peran kekuatan eksternal seperti Rusia, Cina, dan
Iran perlu diarahkan secara konstruktif. Alih-alih memanfaatkan perpecahan,
mereka dapat bertindak sebagai mediator yang jujur dan menyediakan platform
dialog netral (Likhacheva, 2014). Rusia, dengan pengaruh historis dan
ekonominya yang kuat, memiliki posisi unik untuk memfasilitasi kesepakatan.
Cina, sebagai negara hulu dalam sistem sungai yang berbeda, dapat berbagi
pengalamannya dalam mengelola sungai lintas batas.
Kesimpulan.
Masalah air di Asia Tengah
adalah bom waktu yang hanya dapat dilucuti melalui kemauan politik kolektif dan
pendekatan yang berorientasi pada masa depan. Analisis menunjukkan bahwa sikap
negara-negara yang bertolak belakang antara kepentingan energi di hulu dan
ketahanan pangan di hilir telah menciptakan kebuntuan yang berbahaya. Namun,
prospek resolusi tetap ada jika semua pihak menyadari bahwa status quo pada
akhirnya akan merugikan semua negara. Solusinya terletak pada transisi dari
mentalitas zero-sum game ke paradigma kerja sama yang saling menguntungkan.
Dengan mengadopsi pendekatan "nexus" yang terintegrasi, memperkuat
kelembagaan bersama, berinvestasi dalam teknologi efisien, dan mendiversifikasi
ekonomi, negara-negara Asia Tengah dapat mengubah sumber konflik potensial ini
menjadi jembatan menuju stabilitas dan kemakmuran regional yang berkelanjutan.
Masa depan kawasan yang kering ini sangat bergantung pada kemampuan mereka
untuk mengelola tetesan air mereka bersama-sama.
Daftar Referensi.
- Asamudinov
B. Masalah Air dan Stabilitas Regional Asia Tengah // http://www.easttime.ru/analytics/tsentralnaya-aziya/vodnye-problemy-i-regionalnaya-stabilnost-tsentralnoi-azii/4114
- Likhacheva
A.B. Masalah Air Asia Tengah: Peran Rusia, Cina dan Iran // Asia dan
Afrika Hari Ini. 2014. Tidak 3.
- Hubungan
Internasional di Asia Tengah: Peristiwa dan Dokumen. Diedit oleh A.D.
Bogaturov. Moskow, 2011. hlm. 359–363. Dokumen 21, 42, 73.
- Paramonov
v. Masalah Air dan Energi di Asia Tengah dan Kebijakan Rusia http://www.centrasia.ru/newsA.php?st=1264975680
- Konflik
air Rogozhina N. di Asia Tengah dan Posisi Rusia // http://ru.journal-neo.org/2014/02/24/rus-vodny-e-konflikty-v-tsentral-noj-azii-i-pozitsiya-rossii/
- Situs
web: Fergana ("Bagian Proyek Khusus", bagian "Masalah Air
di Daerah")
- Safronova
E.I. "Masalah Air" di Asia Tengah dan Dampaknya terhadap Citra
Rusia dan Tiongkok di Kawasan // Tiongkok dalam Politik Dunia dan
Regional. Sejarah dan modernitas. 2009. No 14 // http://cyberleninka.ru/article/n/vodnaya-problema-v-tsentralnoy-azii-i-ee-vliyanie-na-imidzh-rossii-i-kitaya-v-regione
- Sidorov
O. Sumber Daya Air Asia Tengah sebagai Sumber Konflik Regional // http://www.ca-c.org/journal/2003/journal_rus/cac-05/19.sidrus.shtml
- Haidar,
Aida. Penyelesaian Masalah Air Membutuhkan Kerja Sama Antar Negara-negara Asia Tengah, Kata Pakar // The Astana
Times? 5 Oktober, 2023 // https://astanatimes.com/2023/08/resolving-water-issues-requires-cooperation-between-central-asian-states-experts-say/
- Xuanhuan
Wang. Krisis Air yang Berkembang di Asia Tengah dan Kekuatan Pendorong di
Baliknya // Jurnal Produksi Pembersih, 10 Desember 2022 // https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0959652622041464
- Tekanan
Air di Asia Tengah. Laporan Eropa dan Asia Tengah, N°233, 11 September
2014 // http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/europe/central-asia/233-water-pressures-in-central-asia.pdf
.jpeg)
Posting Komentar untuk " Solusi untuk Masalah Air di Asia Tengah: Menganalisis Sikap Negara-negara dan Mencari Jalan Keluar."