Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiji Opens Embassy in Jerusalem: Sebuah Langkah Berani dan Pergeseran Geopolitik di Pasifik.

Fiji Opens Embassy in Jerusalem: Sebuah Langkah Berani dan Pergeseran Geopolitik di Pasifik.




Dalam sebuah langkah yang menggema jauh melampaui wilayahnya yang kecil di Pasifik, Republik Fiji secara resmi membuka kedutaan besarnya di Yerusalem, menjadikannya negara Pasifik kedua setelah Kepulauan Marshall dan negara ketujuh di dunia yang menempatkan misi diplomatiknya di kota suci yang diperebutkan itu. Upacara peresmian yang dihadiri oleh Perdana Menteri Fiji, Sitiveni Rabuka, dan rekan sejawatnya dari Israel, Benjamin Netanyahu, bukan hanya sekadar urusan diplomatik rutin. Ini adalah pernyataan geopolitik yang berani, sebuah pengakuan atas klaim kedaulatan Israel atas Yerusalem yang utuh, dan yang perhaps lebih penting, merupakan bukti dari strategi luar negeri Fiji yang semakin percaya diri dan aliansi yang sedang berevolusi.


Peristiwa bersejarah ini juga menjadi panggung bagi Perdana Menteri Rabuka untuk memperkenalkan dan mendapatkan dukungan awal untuk proposal ambisiusnya, ‘Ocean of Peace’ (Samudra Perdamaian), yang bertujuan menciptakan sebuah blok negara-negara Pasifik yang netral dan bersatu, berfokus pada isu-isu eksistensial seperti perubahan iklim. Pembukaan kedutaan dan proposal perdamaian ini, meskipun merupakan inisiatif terpisah, saling terkait dalam narasi yang lebih besar tentang Fiji yang memainkan peran yang lebih besar di panggung dunia.


Upacara Bersejarah di Yerusalem: Sebuah Pernyataan yang Kuat.


Upacara peresmian di Yerusalem penuh dengan simbolisme. Bagi Perdana Menteri Netanyahu, ini adalah kemenangan diplomatik yang signifikan. Setiap negara yang membuka kedutaan di Yerusalem memberikan legitimasi tambahan pada klaim Israel bahwa Yerusalem adalah ibu kota negara yang abadi dan tidak terbagi sebuah klaim yang ditolak oleh sebagian besar dunia internasional, yang secara tradisional menempatkan kedutaan mereka di Tel Aviv menunggu resolusi akhir status Yerusalem dalam perundingan perdamaian dengan Palestina.


"Fiji adalah negara yang hebat, dan kami menghargai persahabatan dan dukungannya," kata Netanyahu dalam sambutannya. Setiap perluasan lingkaran pengakuan diplomatik ini mengikis konsensus internasional dan menormalisasi kendali Israel atas seluruh kota. Bagi Netanyahu, dukungan dari negara-negara yang relatif kecil sekalipun sangat berharga dalam pertempuran naratif global ini.


Di sisi lain, bagi Perdana Menteri Sitiveni Rabuka, langkah ini adalah puncak dari pendekatan luar negeri Fiji yang telah lama menjalin hubungan erat dengan Israel. Dalam pidatonya, Rabuka menekankan hubungan yang didasarkan pada "nilai-nilai demokrasi bersama, saling menghormati, dan keyakinan yang sama akan pentingnya perdamaian dan keamanan." Namun, di balik retorika diplomatik, terdapat pertimbangan yang lebih pragmatis dan strategis.


Jejak Panjang Hubungan Fiji-Israel: Dari Medan Perang ke Ruang Diplomatik.




Hubungan antara Fiji dan Israel bukanlah hal baru. Ikatan ini dibangun di atas fondasi yang kokoh selama beberapa dekade, sering kali berpusat pada kerja sama keamanan dan militer.


1. Pelatihan Militer dan Keamanan: Israel telah menjadi mitra pelatihan yang crucial bagi Pasukan Militer Republik Fiji (RFMF), khususnya dalam memerangi terorisme dan perang asimetris. Banyak perwira tinggi Fiji, termasuk Sitiveni Rabuka sendiri (seorang pensiunan Letnan Kolonel yang memimpin dua kudeta pada tahun 1987), telah menerima pelatihan di Israel. Keahlian Israel dalam keamanan internal, intelijen, dan teknologi pengawasan sangat menarik bagi sebuah negara kepulauan seperti Fiji yang peduli dengan keamanan maritim dan stabilitas domestik.

2. Kerja Sama Pertanian dan Teknologi: Israel, yang terkenal dengan keahliannya dalam teknologi pertanian dan air (water technology) di daerah gersang, telah terlibat dalam beberapa proyek percontohan di Fiji. Teknologi irigasi tetes, manajemen air, dan pertanian berkelanjutan Israel ditawarkan sebagai solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan di pulau-pulau Pasifik yang rentan terhadap perubahan iklim.

3. Dukungan Diplomatik Timbal Balik: Fiji telah lama menjadi pendukung Israel di forum internasional, sering kali memilih bersama Israel atau abstain dalam resolusi-resolusi PBB yang mengkritik negara Yahudi itu. Sebagai imbalannya, Israel memberikan bantuan pembangunan dan dukungan teknis. Hubungan ini adalah hubungan timbal balik: Israel mendapatkan suara diplomatik yang berharga, sementara Fiji mendapatkan akses ke keahlian, pelatihan, dan pendanaan yang sulit diperoleh dari tempat lain.


Oleh karena itu, keputusan untuk memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem merupakan penguatan alami dari aliansi yang sudah lama terjalin, meskipun merupakan langkah yang secara simbolis sangat besar.


Proposal ‘Ocean of Peace’: Visi Rabuka untuk Pasifik yang Netral dan Bersatu.


Yang menarik dari kunjungan Rabuka ini bukan hanya pembukaan kedutaan, tetapi juga promosi aktif proposal ‘Ocean of Peace’ atau ‘Oceania of Peace’-nya. Dalam pertemuan dengan Netanyahu dan para pemimpin Pasifik lainnya yang hadir, Rabuka menguraikan visinya untuk menciptakan sebuah kelompok regional yang didedikasikan untuk netralitas dan kerja sama dalam menghadapi tantangan bersama, terutama perubahan iklim.


Proposal ini tampaknya merupakan respons terhadap persaingan geopolitik yang semakin intensif di kawasan Pasifik antara kekuatan-kekuatan besar seperti China, Amerika Serikat, dan Australia. Pasifik telah menjadi ajang perebutan pengaruh, dengan China yang menawarkan pinjaman infrastruktur yang besar-besaran (dan sering kali menimbulkan utang) melalui inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative), sementara AS dan sekutunya berusaha untuk mengcounter pengaruh tersebut melalui pakta-pakta seperti Partners in the Blue Pacific.


Rabuka, yang memimpin negara yang pernah menjadi pemimpin dalam Forum Kepulauan Pasifik (PIF), tampaknya ingin memposisikan Fiji dan secara ideal seluruh kawasan sebagai kekuatan netral yang tidak sepenuhnya beraliansi dengan blok mana pun. ‘Ocean of Peace’ bertujuan untuk:


· Menyatukan Suara: Menciptakan blok kohesif yang dapat berbicara dengan satu suara mengenai isu-isu kritis, terutama perubahan iklim, yang merupakan ancaman eksistensial bagi banyak negara kepulauan.

· Mengurangi Ketegangan Geopolitik: Menawarkan jalan alternatif yang berfokus pada kerja sama non-blok, sehingga berpotensi mengurangi persaingan AS-China di kawasan tersebut.

· Menarik Investasi yang Menguntungkan: Dengan menciptakan lingkungan yang stabil dan netral, kelompok ini berharap dapat menarik investasi dan bantuan pembangunan yang tidak terikat dengan agenda geopolitik yang sempit.


Mendapatkan dukungan dari Netanyahu untuk proposal ini adalah langkah yang cerdik. Israel, meskipun bukan pemain utama di Pasifik, memiliki keahlian teknologi yang dapat ditawarkan, khususnya dalam hal ketahanan iklim, keamanan air, dan energi terbarukan. Dukungan Israel memberikan credibilitas tambahan pada proposal tersebut dan membuka pintu bagi kemitraan teknis di masa depan.


Reaksi Internasional: Pujian, Kritik, dan Kekhawatiran.





Keputusan Fiji tentu saja tidak diterima dengan baik oleh semua pihak.


1. Dukungan: Seperti yang diharapkan, keputusan ini disambut dengan hangat oleh Israel dan sekutu dekatnya, terutama Amerika Serikat. Negara-negara yang telah membuka kedutaan di Yerusalem, seperti Amerika Serikat, Guatemala, dan Kosovo, melihatnya sebagai penguatan blok diplomatik mereka.

2. Kritik Tajam dari Palestina dan Dunia Arab: Otoritas Palestina dengan cepat mengutuk keputusan tersebut. Mereka menyatakannya sebagai "pelanggaran terhadap hukum internasional" dan "tusukan di punggung" perjuangan rakyat Palestina. Mereka berargumen bahwa tindakan seperti ini merusak prospek solusi dua negara dan pra-penentuan hasil akhir status Yerusalem. Negara-negara Arab dan mayoritas negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga mengutuk langkah Fiji tersebut.

3. Kekhawatiran di Dalam Negeri dan Kawasan: Di dalam Fiji, oposisi politik dan beberapa kelompok masyarakat sipil mempertanyakan kebijaksanaan langkah ini. Mereka khawatir hal ini dapat merusak hubungan Fiji dengan negara-negara Arab yang kaya dan blok voting yang besar di PBB, serta berpotensi mempengaruhi bantuan pembangunan dari donor tradisional. Di kawasan Pasifik, langkah ini mungkin dilihat sebagai penyelarasan Fiji yang lebih dekat dengan agenda pro-AS dan pro-Israel, yang berpotensi memecah belah kesatuan Pasifik yang rapuh. Negara-negara seperti Vanuatu dan Papua Nugini yang memiliki rekam jejak kuat mendukung hak-hak Palestina mungkin memandang langkah Fiji dengan skeptis.


Analisis Geopolitik: Mengapa Fiji Melakukan Langkah Ini?


Keputusan untuk membuka kedutaan di Yerusalem adalah perhitungan yang kompleks dengan beberapa kemungkinan motivasi:


1. Memperkuat Hubungan dengan AS: Kebijakan luar negeri Amerika Serikat, di bawah beberapa administrasi terakhir, sangat mendukung pemindahan kedutaan ke Yerusalem. Dengan menyelaraskan diri dengan kebijakan ini, Fiji mungkin berharap dapat memperkuat hubungannya dengan Washington, mendapatkan akses yang lebih baik terhadap bantuan, perdagangan, dan dukungan diplomatik.

2. Mendapatkan Keuntungan dari Israel: Imbalannya dari Israel bisa nyata: peningkatan kerja sama keamanan, akses yang lebih besar ke teknologi pertanian dan air yang canggih, serta investasi potensial. Bagi sebuah negara berkembang seperti Fiji, paket insentif dari Israel bisa sangat menarik.

3. Memproyeksikan Kekuatan dan Otonomi: Perdana Menteri Rabuka, seorang veteran militer dan politikus senior, jelas ingin memproyeksikan Fiji sebagai pemimpin yang percaya diri dan independen di panggung dunia. Membuat keputusan berani yang bertentangan dengan konsensus internasional adalah cara untuk menunjukkan otonomi dan menandai bahwa Fiji akan mengejar kepentingannya sendiri seperti yang dipandangnya.

4. Membedakan Diri dari Pengaruh China: Sementara China telah menjadi investor besar di Pasifik, terdapat kekhawatiran yang semakin meningkat tentang hutang dan pengaruhnya. Dengan mendekatkan diri ke Israel dan AS, Fiji mungkin sedang melakukan diversifikasi aliansinya dan mengurangi ketergantungan pada satu mitra besar.


Kesimpulan: Sebuah Langkah Berisiko dengan Imbalan Potensial yang Besar.


Pembukaan Kedutaan Besar Fiji di Yerusalem adalah momen penting dalam diplomasi Pasifik. Ini adalah langkah berani yang mengukuhkan hubungan erat Fiji dengan Israel dan blok negara-negara yang mendukung klaim Israel atas Yerusalem. Namun, ini juga merupakan langkah yang berisiko, berpotensi mengalienasi sekutu tradisional dan memecah belah kesatuan regional.


Keberhasilan langkah strategis ini pada akhirnya akan diukur berdasarkan hasil yang diperoleh Fiji. Apakah ini akan diterjemahkan menjadi peningkatan investasi, keamanan, dan pengaruh diplomatik yang nyata? Atau akankah ini menyebabkan backlash diplomatik dan mengisolasi Fiji dalam bloknya sendiri di Pasifik?


Secara bersamaan, proposal ‘Ocean of Peace’ Rabuka menawarkan narasi penyeimbang sebuah visi untuk Pasifik yang bersatu dan netral. Kemampuannya untuk mendamaikan langkah pro-Israel yang jelas dengan retorika netralitas dan fokus pada perubahan iklim akan menjadi ujian utama bagi kepemimpinannya. Jika berhasil, Rabuka dapat memposisikan Fiji sebagai kekuatan penyeimbang yang licik dalam geopolitik Pasifik yang rumit. Jika gagal, Fiji mungkin akan menemukan dirinya terjerat dalam persaingan kekuatan besar yang justru ingin dihindari oleh proposal ‘Ocean of Peace’-nya.


Dengan membuka kedutaan di Yerusalem, Fiji tidak hanya menancapkan benderanya di tanah yang disengketakan, tetapi juga menempatkan taruhan besar pada masa depan geopolitiknya sendiri. Hanya waktu yang akan memberitahu apakah taruhan ini akan terbayar.

Posting Komentar untuk "Fiji Opens Embassy in Jerusalem: Sebuah Langkah Berani dan Pergeseran Geopolitik di Pasifik."