Sebuah Mahkota dari Sepik: Seruan Budaya Melanesia untuk Perhatian PBB terhadap Papua Barat.
Sebuah Mahkota dari Sepik: Seruan Budaya Melanesia untuk Perhatian PBB terhadap Papua Barat.
Di pesisir
sungai yang keruh dan perkampungan yang diukir oleh waktu di Dataran Tinggi
Sepik, Papua Nugini, sebuah bahasa universal diucapkan. Bahasa itu bukan dari
kata-kata, tetapi dari anyaman, warna, dan spirit. Itu adalah bahasa pemberian
hadiah sebuah tindakan sakral yang menjalin hubungan, menghormati tamu, dan
mengakui martabat bersama. Pada kunjungan baru-baru ini ke pulau New Guinea,
sebuah pulau yang dibagi oleh garis kolonial dan perbatasan nasional, bahasa
inilah yang digunakan oleh masyarakat Melanesia untuk menyambut Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sambutan hangat itu, yang dilambangkan melalui
pemberian hiasan kepala tradisional masyarakat Sepik yang megah, adalah lebih
dari sekadar gesture protokoler. Itu adalah sebuah pernyataan politik dan
budaya yang dalam, sebuah simbol yang berbicara tentang sejarah bersama,
penderitaan bersama, dan harapan bersama untuk masa depan. Hiasan kepala itu,
dengan bulu-bulu yang menjulang dan ukiran yang rumit, bukan hanya untuk
menghiasi kepala seorang pemimpin global; ia adalah mahkota yang memikul berat
sebuah pesan: jangan lupakan saudara-saudara kami di sebelah barat perbatasan
ini. Pesan itu adalah seruan mendesak untuk PBB agar akhirnya menanggapi isu
lama terkait Papua Barat, di mana hak penentuan nasib sendiri masyarakat adat
Papua telah dilanggar secara sistematis dan berkelanjutan oleh pemerintah
Indonesia selama lebih dari setengah abad.
Pulau New Guinea: Satu Daratan, Dua Takdir.
Untuk memahami betapa signifikannya pemberian
hadiah budaya ini, seseorang harus pertama-tama memahami kesatuan alam dan
budaya pulau New Guinea. Sebagai pulau terbesar kedua di dunia, New Guinea
adalah pusat keanekaragaman hayati dan budaya yang menakjubkan. Masyarakat
Melanesia yang menghuninya, dari Port Moresby hingga Jayapura, dan dari Sepik
hingga Merauke, terikat oleh hubungan kekerabatan, bahasa Austronesia dan
Non-Austronesia, serta warisan budaya yang kaya yang berpusat pada penghormatan
kepada leluhur dan tanah.
Pembagian pulau ini menjadi dua entitas politik negara
merdeka Papua Nugini di timur dan wilayah Papua Barat yang diklaim Indonesia di
barat adalah sebuah konstruksi artifisial, warisan langsung dari kolonialisme
abad ke-19. Garis lurus yang memisahkan PNG dan Papua Barat adalah warisan dari
Perjanjian 1895 antara Belanda dan Inggris, yang membagi pulau tanpa
mempertimbangkan realitas etnografis dan budaya masyarakat yang telah tinggal
di sana selama ribuan tahun.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya
dari Belanda pada 1945, wilayah Papua Barat yang saat itu masih merupakan
Nugini Belanda tidak termasuk. Belanda mempertahankan kendali atas wilayah
tersebut dengan persiapan untuk kemerdekaannya sendiri. Rakyat Papua sudah
mulai mengibarkan bendera Bintang Kejora mereka pada 1 Desember 1961, sebagai
langkah simbolis menuju kedaulatan. Namun, geopolitika Perang Dingin campur
tangan. Melalui tekanan diplomatik dan ancaman militer, Indonesia di bawah
Soekarno memaksa Belanda untuk menyerahkan wilayah tersebut, yang kemudian
diserahkan kepada PBB dan kemudian kepada Indonesia melalui Penentuan Pendapat
Rakyat (PEPERA) 1969 yang sangat cacat, yang dikenal sebagai Act of Free
Choice.
PEPERA 1969: Dasar dari Sebuah Pendudukan yang Berkepanjangan.
PEPERA 1969 bukanlah sebuah "tindakan
pilihan bebas." Alih-alih memberikan suara universal dan satu orang satu
suara, Indonesia memilih 1,026 orang (kurang dari 0.01% populasi) dari antara
masyarakat Papua yang telah diintimidasi dan dipilih dengan cermat, untuk
memberikan suara secara terbuka di bawah pengawasan ketat militer Indonesia.
Hasilnya, seperti yang dapat diduga, adalah konsensus bulat untuk integrasi
dengan Indonesia. Proses ini secara luas dikutuk oleh komunitas internasional,
termasuk oleh para diplomat yang hadir. Seorang diplomat Belanda saat itu
menyatakannya sebagai "sebuah lelucon tragis." Bahkan diplomat AS
internal menyebutnya sebagai "sebuah tindakan pilihan yang bebas."
Dari sinilah klaim Indonesia atas Papua Barat
bermula dari sebuah proses yang melanggar semangat dan huruf Perjanjian New
York 1962 yang seharusnya dijamin hak penentuan nasib sendiri bagi orang Papua.
Oleh karena itu, bagi orang Papua dan bagi banyak pengamat hukum internasional,
pendudukan Indonesia atas Papua Barat tidak memiliki landasan moral atau hukum
yang sah. Ini adalah pendudukan yang berlanjut hingga hari ini, didukung oleh
aparatus militer dan penindasan politik.
Kenyataan Pahit di Bawah Bendera Merah Putih.
Sejak aneksasi, orang Papua telah mengalami
marginalisasi, diskriminasi sistemik, dan kekerasan negara yang brutal. Narasi
pembangunan dari Jakarta dengan otonomi khusus dan dana-dana tidak dapat
menyembunyikan realitas pahit di lapangan:
1. Kekerasan Militer dan Pelanggaran HAM yang
Tak Terhitung: Lembah-lembah terpencil dan kota-kota kecil di Papua Barat telah
menjadi saksi bisu dari operasi militer yang tak terhitung jumlahnya. Dari
pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan hingga penangkapan sewenang-wenang dan
penghilangan paksa, militer Indonesia telah menggunakan tangan besi untuk
membungkam perlawanan. Insiden seperti pembantaian Biak (1998), pembunuhan
dengan motif rasial di Surabaya (2019), dan penembakan terhadap siswa di Nduga
(2018) hanyalah puncak gunung es. Kekerasan ini telah menyebabkan korban jiwa
yang sangat besar, dengan perkiraan ratusan ribu orang Papua tewas selama
pendudukan.
2. Penindasan Politik dan Kebebasan Berekspresi:
Mengibarkan bendera Bintang Kejora adalah tindakan kriminal yang dapat
mengakibatkan hukuman penjara yang lama. Bahkan demonstrasi damai seringkali
dibubarkan dengan kekuatan berlebihan. Aktivis, mahasiswa, dan jurnalis yang
mencoba melaporkan realitas di Papua menghadapi intimidasi, penangkapan, dan
kekerasan.
3. Ketimpangan Ekonomi dan Marginalisasi:
Sementara perusahaan-perusahaan Indonesia dan asing mengeksploitasi sumber daya
alam Papua yang melimpah emas, tembaga, kayu, dan gas masyarakat adat
seringkali terusir dari tanah leluhur mereka dan hidup dalam kemiskinan.
Migrasi yang didorong oleh negara (program transmigrasi) telah mengubah
demografi wilayah tersebut, membuat orang Papua menjadi minoritas di tanah
mereka sendiri di beberapa kabupaten, dan semakin meminggirkan mereka secara
sosial, ekonomi, dan politik.
4. Krisis Kemanusiaan dan Pengungsian Internal:
Operasi militer telah memaksa ribuan keluarga mengungsi dari rumah mereka.
Kamp-kamp pengungsi internal di pedalaman Papua menghadapi kelaparan, penyakit,
dan kurangnya akses ke layanan kesehatan dasar. Penderitaan mereka sebagian
besar tersembunyi dari dunia karena pembatasan ketat akses bagi jurnalis
internasional dan organisasi kemanusiaan independen ke wilayah tersebut.
Inilah konteks di mana pemberian hiasan kepala
Sepik kepada Sekretaris Jenderal PBB terjadi. Itu adalah pengingat bahwa
penderitaan orang Papua Barat adalah penderitaan seluruh keluarga Melanesia.
Itu adalah seruan solidaritas dari saudara-saudara yang merdeka kepada
saudara-saudara yang masih dijajah.
Kedewasaan Indonesia dan Keharusan untuk Melepaskan Cengkeraman Kolonial.
Indonesia baru-baru ini merayakan kemerdekaannya
sebuah perjuangan heroik melawan kolonialisme Belanda. Ironinya pahit: sebuah
bangsa yang memperjuangkan haknya untuk menentukan nasib sendiri dengan darah
dan air mata, sekarang telah menjadi kekuatan penjajah yang menolak hak yang
sama kepada orang lain.
Namun, Indonesia telah matang. Ini adalah
demokrasi terbesar ketiga di dunia, kekuatan ekonomi yang berkembang, dan
pemain yang dihormati di panggung global. Kedewasaan ini harus datang dengan
introspeksi moral dan keberanian untuk mengoreksi kesalahan sejarah. Era
kolonialisme telah lama berakhir. Tidak pantas bagi sebuah bangsa yang merdeka
dan bangga seperti Indonesia untuk terus mempertahankan cengkeraman kolonial
atas sebuah bangsa yang dengan jelas menolak pemerintahannya.
Klaim Indonesia atas Papua Barat adalah warisan
dari rezim Orde Baru yang otoriter, bukan dari Republik Indonesia yang
demokratis. Sudah waktunya bagi Indonesia untuk melihat ke depan, untuk
membangun masa depannya tanpa beban pendudukan yang memalukan dan berdarah ini.
Melepaskan Papua Barat bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti kekuatan,
kedewasaan, dan komitmen sejati terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak
asasi manusia yang tercantum dalam konstitusinya sendiri dan dalam Piagam PBB.
Seruan untuk Tindakan: Sebuah Agenda untuk Komunitas Internasional.
Pemberian hiasan kepala Sepik adalah seruan
langsung yang disampaikan melalui bahasa budaya kepada seluruh badan PBB dan
komunitas internasional. Ini adalah permintaan untuk mengakhiri pembiaran dan
mengambil tindakan yang tegas dan menentukan. Berikut adalah seruan khusus
untuk lembaga-lembaga yang disebutkan:
· Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi
Manusia (OHCHR) di Jenewa, Asia, dan Pasifik: Kami mendesak untuk segera
mengizinkan dan mendukung kunjungan resmi dan tanpa halangan dari Komisaris
Tinggi atau Pelapor Khusus yang relevan ke Papua Barat. Laporan-laporan mereka
harus transparan dan mengarah pada tindakan, bukan hanya didiskusikan dan
kemudian diabaikan di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
· UNHCR, Badan Pengungsi PBB: Untuk mengakui dan
memberikan bantuan kepada pengungsi internal Papua yang terlantar akibat
konflik, dan untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi Papua yang
melintasi perbatasan ke Papua Nugini.
· UNICEF Pacific: Untuk memprioritaskan
perlindungan anak-anak Papua, yang menjadi korban dalam konflik ini, menderita
trauma, kekurangan gizi, dan kehilangan akses terhadap pendidikan.
· Forum Permanen PBB untuk Masalah Masyarakat
Adat: Untuk menjadikan situasi di Papua Barat sebagai agenda utama, memberikan
platform bagi suara masyarakat adat Papua, dan merekomendasikan langkah-langkah
konkret kepada Majelis Umum PBB dan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC).
· UNESCO: Untuk mendokumentasikan dan melindungi
warisan budaya Papua yang terancam punah, termasuk bahasa, ritual, dan bentuk
seni tradisional, dari asimilasi paksa dan penghancuran.
· Mahkamah Pidana Internasional (ICC): Untuk
membuka investigasi preliminer terhadap kejahatan yang dilakukan di Papua
Barat, karena kekerasan sistematis yang berkelanjutan dapat memenuhi unsur
kejahatan terhadap kemanusiaan.
· Departemen Luar Negeri AS: Untuk menggunakan
pengaruh diplomatik dan hubungan keamanannya dengan Indonesia untuk menekan
diakhirinya pelanggaran HAM dan dibukanya akses untuk pengamat internasional.
Kebijakan AS harus selaras dengan komitmennya yang diumumkan untuk mendukung
hak asasi manusia dan masyarakat adat di seluruh dunia.
· Pasukan Penjaga Perdamaian PBB: Sementara
bukan konflik antar negara, komunitas internasional harus mempertimbangkan
perlunya misi pemantauan hak asasi manusia sipil yang internasional untuk
mencegah kekerasan lebih lanjut.
· Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI): Kami menyerukan kepada para wakil rakyat Indonesia untuk menunjukkan
keberanian moral. Dengarkan suara nurani Anda, bukan hanya instruksi partai.
Buka debat terbuka tentang Papua Barat. Tinjau ulang sejarah dan hadapi
kebenaran tentang PEPERA 1969. Gunakan kekuatan legislatif Anda untuk mendorong
dialog damai yang bermakna, bukan represi.
Yang paling penting, seruan ini ditujukan kepada
Sekretaris Jenderal PBB sendiri. PBB memiliki tanggung jawab sejarah. Institusi
ini adalah penjamin Perjanjian New York 1962 dan mengawasi PEPERA 1969 yang
cacat. PBB tidak dapat terus mengabaikan konsekuensi dari kegagalan moral dan
administratifnya. Sekretaris Jenderal harus menggunakan kantor yang baik (good
offices)-nya untuk memfasilitasi dialog tripartit yang jujur dan netral antara
Indonesia, dan perwakilan sah masyarakat adat Papua. Tujuan akhir dari dialog
ini haruslah memungkinkan rakyat Papua untuk menjalankan hak penentuan nasib
sendiri mereka yang tidak dapat dicabut, apakah melalui kemerdekaan penuh,
asosiasi bebas, atau otonomi yang genuin dan bermakna sebuah pilihan yang harus
mereka buat sendiri, tanpa paksaan atau intimidasi.
Kesimpulan: Makna dari Sebuah Mahkota.
Hiasan kepala dari Sepik yang sekarang mungkin
disimpan di markas besar PBB di New York adalah lebih dari sekadar artefak. Itu
adalah sebuah piagam, sebuah petisi, sebuah pengingat yang hidup. Setiap
anyaman, setiap bulu, setiap ukiran adalah representasi dari jiwa sebuah bangsa
yang menolak untuk dilupakan.
Ketika Sekretaris Jenderal PBB menerima mahkota
itu, ia menerima tanggung jawab yang menyertainya. Tanggung jawab itu adalah
untuk mendengarkan jeritan yang bisu dari balik Pegunungan Tengah Papua Barat,
untuk melihat air mata yang ditumpahkan di lembah-lembahnya, dan untuk
merasakan ketakutan dari seorang anak yang mendengar suara helikopter tentara.
Orang Melanesia dari timur telah menyampaikan
pesannya dengan cara yang paling hormat dan bermartabat sesuai dengan tradisi
mereka. Mereka telah memperlakukan PBB bukan sebagai lembaga birokrasi yang
jauh, tetapi sebagai tamu terhormat yang layak diberi hadiah terbaik mereka.
Kini, ball ada di pihak PBB. Apakah ia akan menghormati semangat pemberian
hadiah ini? Atau akankah hiasan kepala itu menjadi simbol lain dari janji yang
tidak terpenuhi dan harapan yang pupus?
Sudah waktunya bagi PBB untuk membersihkan noda
dalam sejarahnya. Sudah waktunya bagi Indonesia untuk melepaskan cengkeraman
kolonialnya dan membuka jalan menuju rekonsiliasi. Dan yang terpenting, sudah
waktunya sudah sangat terlambat bagi rakyat Papua Barat untuk akhirnya dapat
menentukan nasib mereka sendiri, dalam damai dan keadilan, di tanah leluhur
mereka sendiri. Mahkota dari Sepik menunggu jawabannya.

Posting Komentar untuk "Sebuah Mahkota dari Sepik: Seruan Budaya Melanesia untuk Perhatian PBB terhadap Papua Barat."